Abu Bakar: Membenarkan Isra’ Mi’raj dengan Logika

Oleh: Maulana Karim Shalihin*
Sejak duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah hingga bertahun-tahun setelahnya, penulis selalu dihinggapi kegelisahan ketika menjelang peringaan isra’ mi’raj. Hal ini berkaitan dengan rasionalitas para Sahabat Khususnya Abu Bakar RA.
Mengapa Abu Bakar percaya begitu saja dengan cerita isra’ mi’raj Nabi Muhammad yang di luar nalar. Padahal, dilihat dari latar belakang keilmuan, Abu Bakar termasuk kalangan terpelajar.
Sebagai notice saja, alat transportasi pada masa itu belum secanggih sekarang. Kendaraan tercepat mereka adalah kuda, yang bias menempuh perjalanan Makkah ke Yerussalem selama 20 hari bahkan lebih. Teori relatifitas yang kabarnya bisa membuat objek berpindah dengan cepat pun belum dirumuskan. Jadi sangat berat bagi sekalangan sahabat untuk mengiyakan peristiwa malam 27 Rajab itu.
Banyak asumsi timbul mengapa Abu Bakar mempercayai nabi. Sebagian ustadz menjawab dengan jawaban yang agak absurd: karena Nabi Muhammad tidak pernah bohong sekalipun, sehingga Abu Bakar yakin. Adapula muballigh yang memberi tanggapan lain: karena yang bercerita adalah seorang nabi.
Hemat penulis pada waktu itu, hanya ada dua opsi: jika jawaban para muballigh ini benar total, maka penulis mempertanyakan intelektualitas Abu Bakar, namun jika sahabat nabi yang terpelajar ini menggunakan kecerdasannya sebagai pembenar—penulis yakin—pasti ada jawaban lain.
Yaps, opsi kedua terbuka! Seorang kiai alim allamah ‘menampar’ peulis melalui ceramahnya pada peringata isra’ mi’raj sekitar 2016 lalu. Beliau menjabarkan bahwa, Abu Bakar RA. gercep membenarkan isra’ mi’raj ialah karena didukung rasio yang kuat. Padahal pendapatnya ini berrisiko tinggi, sebab kontradiksi dengan logika manusia kebanyakan.
Begini! Rasulullah menjelaskan peristiwa isra mi’raj yang dialaminya itu menggunakan bumper QS. Al Isra’ ayat pertama, yang menyatakan bahwa beliau digerakkan oleh Allah.
Sahabat yang lain nggak ngeh, kalau yang memperjalankan Nabi Dzat yang maha suci yang bisa segalanya, sehingga mereka menolak mentah-mentah dongeng Nabi Muhammad itu bahkan dengan umpatan kasar. Tapi Abu Bakar tanggap dengan dawuh Nabi. Ia tak mau terkecoh dengan logika serampangan kebanyakan temannya.
Logikanya berkata bahwa, Kalau Muhammad bin Abdullah melakukan perjalanan sunyi itu atas dirinya sendiri dengan mengandalkan kemampuan fisiknya, maka mustahil isra’ m’raj terjadi. Namun karena Nabi Muhammad mengakui bahwa yang menggerakkannya adalah Allah SWT., tiada yang tidak mungkin bagi-Nya.
Sejak saat itu, selain bisa tidur pulas, penulis juga semakin mengagumi sosok Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu sebagai sahabat sejati Rasul sekaligus sebagai seseorang yang mempu menggunakan kejernihan fikiran meski ditengah chaos. Wallahu a’lam.
*Sekretaris Lembaga Ta’lif wan Nasyr PCNU Pati