Kebanyakan Pengurus Ranting NU tidak mempunyai kantor. Kantor organisasi numpang di rumah Ketua Tanfidziyah sebagai pelaksana program organisasi yang ditetapkan syuriyah. Meskipun syuriyah sebagai pemegang kebijakan organisasi, NU di kampung sangat cair. Kebijakan organisasi dibicarakan bersama-sama antara Ketua Tanfidziyah dan Rais Syuriyah, bahkan dirapatkan bersama antar seluruh pengurus syuriyah dan tanfidziyah.
Bahkan banyak terjadi ketua tanfidziyah dari segi pengaruh sosial lebih luas dari pada rais syuriyah. Kriteria utama menjadi Rais Syuriyah dan Ketua Tanfidziyah adalah mau bergerak mengurusi jamiyah Nahdlatul Ulama.
Ada contoh seseorang Ketua Tanfidziyah Ranting, kemudian naik ke Majelis Wakil Cabang (MWC) menjabat sebagai Rais Syuriyah atau jajaran Syuriyah. Perpindahan struktur dari tanfidziyah ke syuriyah atau sebaliknya syuriyah ke tanfidziyah bersifat fleksibel, sesuai kebutuhan
KH Said Aqil Siradj saat awal berkiprah di PBNU dalam muktamar di Cipasung tahun 1994 adalah Wakil Katib Syuriyah. Di era KH Hasyim Muzadi, Kiai Said pernah menjadi Wakil Rais Syuriyah dan pada periode selanjutnya menjadi salah satu Ketua PBNU. Baru pada Muktamar 2010 di Makasar, Kiai Said Aqil menduduki jabatan Ketum PBNU sampai kemudian terpilih kembali dalam Muktamar ke-33 tahun 2015 di Jombang.
Masjid: Pusat Kegiatan NU Ranting
Kembali ke kajian NU Ranting. Jika mayoritas tidak memiliki kantor sebagai tempat mengadakan rapat dan menggerakkan organisasi, maka opsi terbaiknya adalah menjadikan masjid sebagai kantor NU Ranting.
Masjid berfungsi sebagai tempat menggodok kebijakan organisasi, baik yang prinsip maupun praktis, sekaligus tempat melaksanakan kegiatan 0rganisasi. Masjid sekarang rata-rata berlantai dua, sehingga bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kantor 0rganisasi dengan dua fungsi: tempat rapat dan tempat pelaksanaan kegiatan. Lantai dua masjid bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan ini. Lantai dua biasanya hanya digunakan seminggu sekali untuk pelaksanaan shalat jumat.
Masjid menjadi pusat pergerakan NU, berarti menjadikan masjid sebagai pusat dakwah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah yang toleran, moderat, dan progresif, jauh dari doktrin radikal dan teror.
Menuju visi besar ini, maka masjid harus benar-benar difungsikan secara optimal. Semakin optimal fungsi masjid, semakin besar pahala yang mengalir kepada waqif (orang yang mewakafkan tanah dam bangunan). Wakaf tergantung kepada intifa‘ (pemanfaatan).
Langkah-langkah distingtif optimalisasi fungsi masjid sebagai jantung pergerakan NU Ranting adalah sebagai berikut:
Pertama, struktur dan personalia pengurus ta’mir masjid harus orang-orang yang memiliki militansi tinggi dalam akidah aswaja nahdliyyah dan mengejawantahkan dalam kehidupan sosial. Syarat lain adalah orang-orang ini harus “kober” meluangkan banyak waktu untuk menghidupkan – meramaikan masjid dengan kegiatan-kegiatan positif.
Kedua, melihat gelagat kelompok salafi Wahabi yang sering menuduh amaliah NU bid’ah, sesat, dan berhak masuk neraka, maka guna menangkis serangan mental ini harus dengan formalisasi dan simbolisasi dalam bentuk “papanisasi masjid”. Nama jam’iyah NU harus tertulis eksplisit sebagai tameng dhohir serangan salafi Wahabi yang ekstrim.
Ketiga, papanisasi ini harus diperkuat ruhnya dengan program internalisasi akidah Aswaja An-Nahdliyyah dan peningkatan keilmuan secara memadai.
Internalisasi akidah aswaja dilakukan dengan intensitas implementasi amaliah warga NU, mulai shalat lima waktu berjamaah, shalat Jum’ah, wiridan, berjanjejan, istighatsah, tahlilan, dan bacaan Al Qur’an.
Peningkatan keilmuan dilakukan dengan pengajian al-Quran ba’da maghrib, pengajian kitab aswaja, kajian fiqh, tauhid, akhlak, tasawuf, tafsir, dan hadis.
Salah satu kitab yang seyogianya (wajib) dibaca untuk internalisasi ideologi Aswaja An-Nahdliyah adalah Risalah Ahlissunnah Wal Jamaah karya Hadlratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari dan Hujjatu Ahlissunnah Wal Jamaah karya KH Ali Ma’shum.
Diklat Fiqh Dan Manajemen Masjid
Lebih progresif lagi langkah ini ditingkatkan dengan diklat masjid yang mengambil dua topik utama.
Pertama, fiqh masjid yang meliputi sertifikasi tanah wakaf, pemanfaatan tanah wakaf, kesucian masjid, pemanfaatan masjid, MCK masjid, dan lain-lain.
Kedua, manajemen masjid yang berfungsi mendayagunakan masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga tempat pembinaan moral, pencerahan keilmuan, dan pemberdayaan sosial ekonomi umat.
Sinergi Seluruh Kekuatan NU
Masjid menjadi tempat bersinerginya seluruh elemen NU. Muslimat, Fatayat, Anshar, IPNU-IPPNU dengan NU sebagai leading sector bersama-sama membangun masjid sebagai pusat dakwah Islam Aswaja An-Nahdliyyah.
IPNU-IPPNU diberdayakan untuk merintis dan mengelola perpustakaan masjid sebagai destinasi keilmuan. Perpustakaan masjid bisa dijadikan taman baca dan arena peningkatan keilmuan dalam bentuk kegiatan bedah buku, diskusi, seminar, dan diklat yang bermanfaat bagi remaja secara akidah, moral, ilmu, dan sosial.
Muslimat-Fatayat-Anshar dalam komando NU Ranting menghidupkan UPZISNU (Unit Pengelola Zakat, Infak Dan Sedekah Nahdlatul Ulama) yang bertugas menghimpun sumber dana filantropi warga NU dan mengalokasikan kepada mereka, baik dalam bentuk konsumtif maupun produktif.
Keberhasilan Lazisnu Ranting yang ada di Desa Nanggerang Cirucuk Sukabumi Jawa Barat dalam menggalakkan Koin NU dengan semboyan “one day five hundred rupiah” satu hari lima ratus rupiah sehingga mampu mendirikan klinik kesehatan dan memberikan layanan sosial dalam berbagai bentuk menjadi inspirasi dan motivasi seluruh pengurus NU Ranting untuk hadir memberikan manfaat nyata bagi warga NU dan bangsa secara keseluruhan.
NU tingkat PBNU, PWNU, PCNU, dan MWCNU tidak ada taringnya jika NU Ranting tidak bergerak melahirkan prestasi nyata bagi warga NU dan bangsa. Jantung NU ada di Ranting. Semakin progresif Ranting NU, semakin maju NU.
والله اعلم بالصواب
Wonokerto, 7 Februari 2020
Penulis: Dr. Jamal Makmur, MA adalah Wakil Ketua PCNU Kab. Pati *) Setiap tulisan opini yang dimuat dalam rubrik #NUKolom menjadi tanggung jawab penulis. |