Iklan
Berita

Suluk Maleman Menyoal Kritis di Dunia Abu Abu

 

Pcnupati.or.id-Dunia yang serba instan tak selalu memiliki dampak yang positif, tak jarang justru membuat manusia gagal menata akhlak. Padahal akhlak adalah elemen penting manusia, baik sebagai pribadi mau pun dalam bermasyarakat dan berbangsa.
Topik mendalam itu dibahas dalam Suluk Maleman edisi ke-160 yang digelar di rumah Adab Indonesia Mulia pada Sabtu (19/4) dengan tema “Hikayat Negeri Berkabut”.
Penggagas Suluk Maleman Anis Sholeh Ba’asyin menyebut bahwa persoalan bermula saat manusia terpecah fokusnya, sehingga gagal mengenali masalah-masalah utama yang dihadapinya.
Di era serba instan seperti sekarang, dengan media sosial yang topiknya beragam dan berubah-ubah dengan cepat, membuat fokus seseorang gampang terpecah. Sementara di sisi lain, pembentukan akhlak membutuhkan fokus yang jelas. Ini prasyarat utama agar pembiasaan menjadi mungkin dilakukan.
“Jangan lupa, membuat manusia tidak fokus adalah salah satu metode iblis,” tegas Anis.
“Kanjeng Nabi pernah menegaskan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. Sementara akhlak dicapai lewat pembiasaan yang dilakukan secara terus menerus. Akhlak inilah salah satu pembeda manusia dengan binatang. Binatang tidak perlu belajar melakukan pembiasaan, karena kecakapan hidupnya diturunkan secara alamiah lewat genetiknya.”
Menurut Anis, inilah salah satu masalah utama kita. Kondisi serba cepat dan abu-abu membuat kebanyakan manusia gagal membangun akhlak, sekaligus gagal mengenali masalah-masalah utamanya.
Di sisi lain, Ali Fatkhan, salah satu narasumber menengarai bahwa kegagalan ini sangat mungkin bersumber dari ketakutan manusia sendiri,
“Kondisinya mungkin seperti orang yang takut ke dokter atau ke laboratorium, karena tak berani menghadapi kemungkinan adanya masalah kesehatan dalam dirinya. Atau, kemungkinan lain, ada pihak yang sengaja menghalangi agar orang tak menyadari adanya masalah di dalam dirinya. Kemungkinan kedua ini tentu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memegang kuasa,” jelas Ali.
Sementara narasumber lain, Afthonul Afif, menyebutkan pentingnya berfikir kritis sebagai salah satu awal bagi pembentukan akhlak baik. Saat ini masyarakat tak memiliki mekanisme penyaring ilmu pengetahuan dan informasi yang baik. Kondisi itu dinilainya rawan menjadi bias kognitif.
“Saat ini ketika ilmu pengetahuan dan informasi diterima banyak orang kemudian diterima begitu saja tanpa proses screening yang baik. Kita tak pernah menanyakan status kebenarannya,” ucapnya.
Padahal budaya etika dan akhlak saat ini justru kembali diajarkan oleh negara-negara maju. Dia mencontohkan China yang justru menerapkan kebiasaan menulis tangan bagi siswa sekolah dasar. Padahal negara tersebut memiliki pencapaian yang luar biasa di bidang sains hingga AI.
“Itu menjadi bentuk mereka menyadari jika sebuah bangsa mengalami kemunduran bernalar pasti akan tertinggal di bannyak bidang. Cina memaksimalkan fungsi berfikir warganya lewat pendidikan. Mereka bahkan memberikan fasilitas terbaik bagi neurosains dan sains kognitif untuk kemudian tenaga ahlinya diundang kembali dan difasilitasi memimpin sains rintisan terutama di bidang AI,” jelasnya.
Hal itulah yang disesalkannya belum terlihat di bangsa Indonesia. Dia berharap adanya gebrakan kesungguhan pemimpin negara dalam memperbaiki kehidupan masyarakat terutama di bidang pendidikan.
Terkait hal itu, Anis Sholeh Ba’asyin mengajak masyarakat untuk mengubah nilai-nilai yang ada untuk menjadi lebih rohaniah.
“Kita tak kan terdistraksi kalau punya akhlak mulia. Sains bisa dakik-dakik, tapi kalau manusia yang mengendalikannya berakhlak buruk, maka justru akan menjadi sumber bencana,” ujarnya. (*)

Iklan

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Back to top button