Terima Kasih Tak Membawa Apa Apa, Doakan Saja
Jika minggu lalu saya bercerita perihal orang yang suka menyia- nyiakan rejeki saat musim hajatan, atau menghadiri undangan nikahan dan resepsinan. Dengan cara tak menghabiskan menu makannya yang diambil sendiri. Di pilih sendiri, begitulah manusia dengan segala ke unikannya, dan segala kesempurnaannya yang tak disempurnakan sendiri.
Bulan ini adalah dimana banyak orang yang telah di mampukan untuk melaksanakan rukun Islam ke lima yaitu berangkat Haji. Orang yang berangkat Haji adalah orang pilihan. Pilihan sebab dengan penuh kesabaran menunggu antrian panjang, melebihi antrian macet jalan Pantura saat perbaikan pada program tahunan. Proyek abadi yang selalu dinanti para pencari bati.
Kebetulan kemarin saya bertemu dengan suami istri yang sedang berdialog interaktif di dalam lift turun dari lantai atas ke bawah, pada sebuah rumah sakit swasta di kota. Saya tanpa sengaja mendengarkan dialog tersebut, dengan penuh seksama. Jangan sampai ada yang terlupa.
“Bu… Sudah menjenguk Bapak Brur yang akan pergi Haji? “tanya suaminya dengan nada yang datar
“Belum Pak, Bapak tahu sendiri kita lagi ada musibah begini”
“Iya Bu.. tapi jika kita tak menjenguk dan membawa buah tangan, tentu akan di bahas dan menjadi bahasan serta diabsen. Karena menjenguk orang akan berangkat Haji diharuskan membawa buah tangan, baik berupa gula atau pun lainnya, bukan soal bawanya melainkan sekarang kita lagi ada musibah, “
Setelah mendengar dialog interaktif tersebut saya heran dan bingung. Sebab di masyarakat kita kebanyakan telah memberlakukan orang yang akan pergi Haji adalah dengan mendatangkan sumbangan, mendatangkan pemberian-pemberian. Anehnya orang yang katanya pilihan tersebut tentu dari segi harta benda lebih dari orang lain, tapi kenapa masih saja menerima pemberian dari orang dibawahnya. Di bawah dari segi ekonomi.
“Lha wong sudah menjadi tradisi kok mau di rubah, ya ndak bisa to Pak !, ” celetuk istri saya dengan tiba tiba, selalu mengagetkan saya saat menulis cerita ini.
Belum sempat menimpali apa yang diucapkan Ibu Ratu dalam rumah saya tersebut. Ia kembali berujar dan komentar lebih pedas dari pada makanan ber cabai yang ber level level.
“Bapak tentu tahu, orang Haji itu modalnya banyak, antriannya juga panjang, tentu wajar saja to apabila harus balik modal, meski tak keseluruhan, salah satunya ya itu tadi menerima pemberian-pemberian dari orang lebih rendah ekonominya dari ya akan berangkat Haji, “jelasnya panjang lebar
Dalam hati saya, tumben Ibu Ratu mikirnya rada sosialis dan realistis. Jadi saya teringat pada sebuah rumah sederhana. Rumahnya masih berkeramik plaster dari semen tiga roda kokoh tertandingi dan temboknya masih berbata merah. Hasil jerih payahnya selama sepuluh tahun lebih untuk menabung akhirnya orang tersebut bisa berangkat Haji. Sebut saja Mab namanya.
Mab tersebut dengan gagah berani di depan rumahnya di kasih papan pengumuman dengan tulisan kapital amat besar “TERIMA KASIH TAK MEMBAWA APA APA, DOAKAN SAJA”
Setelah membaca tulisan tersebut hati saya makratab meski tak se tratab panggilan telegram yang tak boleh di tolak. Ternyata hanya orang sederhana saja, seadanya yang bisa memahami dan mengerti hakikat pergi Haji yaitu orang pilihan tentu tak seharusnya menerima pemberian. (Niam At Majha)