Santri dan Literasi
Oleh : Siswanto
Pesantren pada umumnya merupakan model pendidikan yang menekankan pada khazanah keilmuan kitab kuning dan ilmu agama. Sehingga pesantren lebih terkenal di lingkungan masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal yang fokus pada pendidikan keagamaan dan pendidikan karakter terhadap para santri.
Sedangkan santri sendiri di dalam pondok pesantren merupakan salah satu unsur penting yang ada di dalam pesantren. Dimana merujuk dari buku “Tradisi Pesantren” yang ditulis oleh Zamakhsyari Dhofier salah satu unsur yang harus dimiliki pesantren adalah adanya kiai, santri, kitab kuning, asrama, dan masjid/mushala.
Dengan demikian dengan adanya beberapa unsur di atas menegaskan bahwa pesantren bisa survive dan kontinyu secara kegiatan harus memiliki kelima unsur tersebut. Maka, dengan adanya kelima unsur tadi, pesantren bisa melakukan aktivitas kegiatan belajar-mengajar yang ada di dalam pondok pesantren.
Adapun bentuk kegiatan belajar-mengajar di pondok pesantren tentunya masing-masing pesantren memiliki ciri khas tersendiri. Misalnya dalam hal ini Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang lebih menekankan para santrinya untuk mengkaji kitab kuning. Selain mengkaji kitab kuning santri juga didorong untuk menghafal perangkat yang ada di dalam kitab kuning. Karena untuk bisa mahair membaca teks kitab kuning tanpa haraka. Tentunya santri harus menguasai seperangkat sebagi pendukung agar santri mampu menguasai khazanah kitab kuning dengan benar dan baik.
Selain itu juga ciri khas dari pesantren adalah tradisi menghafal. Misalnya dalam hal ini Pondok Pesantren Yanbu’ul quran Kudus. Dimana konsen dari pesantren ini adalah menghafal Alquran. Tradisi menghafal Alquran sudah turun-temurun dari Mbah Arwani Amin Kudus hingga sekarang masih istikamah terjaga.
Tradisi hafalan di pesantren sudah menjadi ciri khas yang ada di dalam pondok pesantren. Sehingga agar para santri bisa sukses tentunya menghafal dan mempelajari khazanah keilmuan yang ada di pondok pesantren sudah menjadi kewajiban para santri untukterus mendawamkan kegiatan tersebut sampai kapanpun.
Oleh karena itu, antara tradisi menulis, membaca, dan menghafal merupakan tardisi santri di dalam pondok pesantren yang harus dijaga sebagai tradisi legacy para fanther fanthers dan monthers yang ada di dalam pondok pesantren.
Dengan demikian,dari banyaknya pesantren yang tersebar luas di penjuru Nusantra yang memiliki kearifan lokal masing-masing, tentunya para santri tidak lepas dibekali pada dunia lietrasi.
Literasi ini tidak hanya terpusat pada baca dan tulis saja, melainkan santri diajarkan untuk bisa membaca fenomena yang ada di lingkungan sekitar. Hal ini dimaksud agar santri memiliki andil besar dalam kontribusi konkret di lingkungan masyarakat.
Dalam hal ini,banyak output yang lahir dari pesantren yang memiliki kiprah dan sumbangsih konkret di lingkungan masyarakat. Misalnya KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh melalui fiqih sosialnya, beliau mampu memberdayakan masyarakat sekitarnya. KH Abdurrohman Wahid yang lebih akrab dipanggil Gus Dur,melalui kiprah pemikirannya, banyak dari kalangan anak muda terbuka pemikirannya dan lebih kritis dalam membaca fenomena sosial di masyarakat. Selain itu juga tokoh lain yakni, Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari yang selalu menjadi figur dan tauladan bangsa, berkat kegigihan dan perjuangnya dalam mengusir kolonialisme dari ibu pertiwi. Banyak dari kalangan santri, kiai, dan anak muda yang terinspirasi dari beliau untuk dijadikan sebagai tauladan bangsa.
Oleh karena itu, dari beberapa output pesantren yang memiliki sumbangsih baik secara pemikiran, tindakan, dan laku, tentunya itu semua dilakukan untuk memberikan pengaruh dan kontribusi terhadap masyarakat sekitar serta masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan demikian, adanya beberapa contoh konkret di atas, harapannya santri yang masih belajar di pondok pesantren bisa mengambil hikmah dan bisa menerapkannya kelak setelah selesai dari pondok pesantren.