Iklan
Kolom

Mahakarya Pernikahan

Oleh: Maulana Karim Sholikhin*

Pernikahan menjadi resolusi hampir semua lajang di muka bumi. Tak peduli apakah mereka miskin atau kaya, tampan atau pas-pasan, jomblo maupun jadian, semua menginginkan sebuah ending bernama pernikahan.

Namun benarkah menikah adalah akhir? Kenyataannya tidak! Ada badai, topan dan gelombang tinggi yang kudu dilalui paskanya. Mempersatukan presepsi hingga memahami satu sama lain menjadi persoalan baru yang menimbulkan badai itu.

Iklan

Namun agar tak terkesan horor, penulis mencoba menamai persoalan-persoalan itu sebagai sebuah seni. Menurut KBBI, seni adalah karya yang diciptakan dengan keahlian luar biasa.

Lantas dimana luar biasanya sebuah pernikahan? Bukankah hampir setiap orang menikah?

Tepat! Semua orang yang sudah akad di depan penghulu, memang menyandang status menikah. Hanya saja, apabila salah memakna, pernikahan batal menjadi karya, gagal menjadi seni. Jika menikah cuma berdalih ranjang dan gengsi, tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pernikahan–seperti saling memahami dan menghargai–asal ada uang dan calon mempelai, semua orang bisa menikah.

Keahlian mencari momen presisi untuk menasihati isteri tanpa merendahkannya, atau shalat subuh berjamaah di sudut ruang rumah, haha hihi di antara meja makan meski hanya berlauk tumis kacang dan tempe goreng saat tanggal tua, rela menunda pashmina branded demi membeli ban mobil suami, batal nonton bola sebab menemani istri menikmati sinetron kesayangan dan sukses merubah mindset-mindset negatif pasangan menjadi pola fikir positif tanpa mereka sadari. Bukankan itu bagian dari karya besar yang membutuhkan keahlian luar biasa?

Di luar sana, banyak rumah tangga gagal lantaran isi dompet yang hanya di huni Patimura, suami kepincut wanita bohay, istri kesengsem pejabat gendut, sampai disintegrasi prinsip yang berakhir: ‘ternyata kamu terlalu baik buat aku’. Bahkan geger geden dalam rumah pun banyak dipicu masalah remeh temeh, misal: sop sapi yang lebih banyak garamnya daripada daging.

Api-api kecil ini bisa membumi hangus rumah bahkan kampung jika tidak dijinakkan oleh tangan lembut para suami dan kebesaran hati para istri. Dua sijoli inilah penentu apakah segepok tanah liat akan menjadi mahakarya patung Huishan? batu bata kah? atau sekadar sampah tak berguna.

Maka, mencari pasangan yang bisa menjadi sahabat sangat direkomensasikan dalam hal menciptakan sebuah karya pernikahan. Fisik maupun finansial yang baik hanyalah prioritas ke tujuh. Satu sampai enam-nya adalah sabar untuk saling memahami.

Dengan kata lain, mahakarya pernikahan hanya dapat dicipta dengan memperkuat persahabatan antar dua sijoli setiap saat, sepanjang hayat. Seperti yang dituturkan oleh De Montaigne bahwa, pernikahan yang langgeng adalah yang corak persahabatannya kuat.

Mahligai yang mengiklimkan ‘cuaca kehidupan’ seperti ini, layak disebut mahakarya, sebab tak mudah membangunnya. Penciptanya pun pantas dinobatkan sebagai seniman.

 

*penulis adalah mudir di Ponpes Shofa Az Zahro’ Gembong-Pati

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Back to top button