Kasus Penulis Muda dan Redaktur Lulusan Rusia: Urgensi Basa-Basi Komunikasi
Oleh : Akhmad Idris
Baru-baru ini, dunia kepenulisan kembali dibuat gaduh. Jika kegaduhan sebelumnya disebabkan oleh ulah seorang penulis veteran yang mengirimkan cerpen karya ‘muridnya’ dengan atas nama dirinya, maka kegaduhan teranyar kali ini disulut oleh unggahan tangkapan layar di media sosial seorang penulis muda dan redaktur lulusan Rusia yang berisi teks percakapan mereka berdua. Berdasarkan jepretan layar yang telah tersebar di setiap sudut ruang media sosial, ada dua poin utama yang bisa saya tangkap dari teks percakapan tersebut. Pertama, kekecewaan penulis muda atas jawaban ketus redaktur. Kedua, kekecewaan (yang juga seolah bercampur dengan keraguan, kekesalan, kemarahan, atau kegemasan) redaktur lulusan Rusia atas honorarium yang ditanyakan oleh penulis muda. Dua-duanya memang berisi kekecewaan, namun sang penulis muda memulainya dengan bertanya apa adanya, sementara sang redaktur lulusan Rusia merespons dengan sumpah serapah yang berbunyi ‘Penyair Gadungan’ & ‘Penyair Karbitan’.
Kabar buruknya, kekecewaan tersebut tak lagi menjadi milik berdua, tetapi menjadi milik bersama. Hampir seluruh penulis berdiri di pihak penulis muda, sedangkan saya belum menemui satu orangpun yang berdiri di pihak redaktur lulusan Rusia hingga tulisan ini dibuat. Semua pihak menyayangkan arogansi redaktur, sebab tak ada yang salah dalam menanyakan honorarium tulisan. Setiap tulisan⸻yang orisinal⸻tercipta melalui perenungan dan pengorbanan, sehingga sudah selayaknya penulisnya mendapatkan apresiasi, entah dalam wujud materi maupun non-materi. Tidak malah sebaliknya. Meskipun secara pribadi saya sudah pasti berada di pihak penulis muda, namun hati saya tergelitik untuk menelisik jejak yang tersembunyi sebab sebaran makna pusat yang dianggap sudah pasti.
Terilhami oleh gagasan Jacques Derrida (1997) dalam of Grammatology, bahwa tak ada makna pasti dalam setiap teks yang tersaji karena setiap teks memiliki wajah ganda. Ketakpastian ini membuat setiap teks bisa dimaknai dengan pelbagai tafsir yang berbeda-beda. Sebut saja seperti Sujiwo Tedjo yang mencoba mencari sisi baik Rahwana yang dengan tulus mencintai Sinta. Berbeda dengan Rama yang mengaku mencintai Sinta, namun justru meragukan kesuciannya. Derrida menamai metode ini dengan nama dekonstruksi. Melalui metode dekonstruksi, seseorang dapat menemui kemungkinan-kemungkinan yang selama ini dianggap jauh dari kebenaran. Kunci utama keberhasilan metode ini adalah kemampuan melacak jejak dan tanda yang tersembunyi di balik teks.
Karena sebaran hinaan dan cacian terhadap redaktur lulusan Rusia sudah berlimpah, maka (atas dasar metode yang digagas oleh Derrida) saya lebih tertarik ‘menebak’ alasan sang redaktur melakukan sumpah serapah. Mungkinkah ada jejak tersembunyi yang menyulut kejengkelannya, sehingga memunculkan kata-kata yang tak semestinya?
Urgensi Basa-Basi Komunikasi
Setelah mencermati beberapa tangkapan layar yang telah saya kumpulkan, satu hal yang tidak saya temui dalam komunikasi via pesan media sosial tersebut adalah basa-basi. Tampak sang penulis muda secara to the point menanyakan honorarium, tanpa melakukan small talk terlebih dahulu seperti “selamat sore redaktur yang baik hati” atau sejenisnya. Namun saya sendiri juga tidak tahu jika memang sebelum percakapan yang beredar di media sosial, sang penulis sudah melakukan basa-basi terlebih dahulu, sebab data yang saya analisis bersumber dari story dan unggahan status masing-masing pihak di media sosial mereka. Asumsi dasar yang saya gunakan dalam membuat tulisan ini adalah pertanyaan ihwal honorarium sebagai pembuka percakapan.
Padahal basa-basi komunikasi adalah satu di antara hal yang paling urgen dalam berkomunikasi. Terlebih jika komunikasi dilakukan oleh dua pihak yang masih sama-sama ‘asing’. Kamus serba tahu, Kamus Besar Bahasa Indonesia secara padat dan singkat memaknai basa-basi sebagai ungkapan yang digunakan sebagai simbol sopan santun, tidak untuk menyampaikan informasi. Sebagai simbol sopan santun, maka siapapun yang meninggalkan basa-basi dalam komunikasi bisa dianggap kehilangan salah satu wujud sopan santun (bagi penganut paham basa-basi sebagai simbol kesopanan, namun tidak semua orang menganut paham ini). Sehingga bisa saja alasan redaktur lulusan Rusia melakukan sumpah serapah atas pertanyaan yang sebenarnya lumrah adalah karena sang redaktur menganggap penulis telah meninggalkan simbol sopan santun dalam berkomunikasi. Tanda atau jejak lain yang mendukung temuan ini adalah klarifikasi sang redaktur di akun media sosialnya bahwa semua yang terjadi adalah kesalah-pahaman dalam berkomunikasi⸻entah pihak mana yang salah memahami komunikasi ini. Sepertinya saya harus berbaik sangka bahwa sang redaktur memang menganut paham basa-basi sebagai simbol kesantunan berbahasa.
Selain sebagai lambang kesantunan, basa-basi menurut Roman Jacobson (1963) dalam Essai de Linguistique Generale juga memiliki fungsi fatik dalam kebahasaan. Artinya, bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi manusia tak hanya sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga dipakai untuk merekatkan hubungan antara penutur dan penerima pesan. Ungkapan-ungkapan seperti “Kau terlihat lebih muda seribu tahun saat usiamu semakin bertambah” atau “Hai, apa kabar engkau? Sudah lama nian aku tak melihat senyum manismu” sebagai pembuka percakapan akan membuka jendela kesempatan dan keakraban dalam pembahasan selanjutnya. Begitu pula untuk percakapan dua pihak yang masih sama-sama asing. Ungkapan basa-basi seperti “bolehkah saya bertanya beberapa hal yang masih awam? Sebab menurut pengamatan saya, anda jauh lebih berpengalaman daripada saya” akan menjadi pembuka yang manis untuk membahas topik-topik yang terkesan kritis. Agaknya hal inilah yang diharapkan oleh redaktur lulusan Rusia dari penulis muda. Sang redaktur ingin memperoleh kesan hangat keakraban dengan sang penulis. Tampak jelas jejak dan tanda ini dari ujung klarifikasi redaktur yang menyebutkan ingin duduk semeja sembari menyeruput kopi/teh, lalu menikmati jagung bakar, dan (mungkin) membincang kisi-kisi lolos kurasi di media nasional seperti yang telah dilakukan oleh si penulis muda.
Akhir kata, tulisan ini hanyalah pembanding atas pelbagai respons yang telah ada. Juga sebagai renungan untuk kita bersama bahwa menjadi terkenal itu mudah, sebab yang susah adalah menulis puisi dan dimuat di media nasional.
Akhmad Idris adalah seorang lelaki lulusan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang terdampar di Bumi dengan selamat Sentosa pada tanggal 1 Februari 1994. Saat ini menjadi seorang dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya dan STKIP Bina Insan Mandiri Surabaya. Seorang lelaki pecinta wanita, tetapi bukan buaya; sebab tiada kesalahan dalam mencintai. Seorang lelaki yang mencintai dunia kepenulisan, meskipun tulisan-tulisannya biasa-biasa saja. Dapat dihubungi di 082139374892 dan 089685875606 (WA), fb Akhmad Idris, dan ig @elakhmad dan @pmdks_official. Karya solonya yang telah diterbitkan adalah buku kumpulan esai dengan judul Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia (2020) dan Permainan Metafora dalam Karya Sastra (2022). Pada tahun 2020 ia lolos dalam seleksi terbuka peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI) yang ke-3 yang diadakan oleh Balai Bahasa. Baru-baru ini ia juga dalam seleksi kurasi masterclass penulisan scenario film yang diadakan oleh Kemenparekraf. Tak hanya itu, baru-baru ini naskahnya terpilih dalam 15 naskah pilihan sayembara kajian literasi terapan berbasis konten lokal yang diadakan oleh Perpusnas RI.
Cerpennya pernah meraih Juara 2 Kategori Umum dalam lomba penulisan cerpen yang diadakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata jawa Timur pada tahun 2021. Salah satu cerpen lainnya juga pernah menjadi juara haparan 3 dalam lomba penulisan cerpen Pekan Budaya 2016 oleh HMJ Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Beberapa cerpen juga pernah dimuat di beberapa media cetak seperti Kompas, Kompas.id, Harian Rakyat Sultra, Solo Pos, Suara Merdeka, Radar Mojokerto, Bangka Pos, dan beberapa media online seperti Himmah Online milik Universitas Islam Malang, Mbludus.com, dan Majalah Pewara Dinamika milik Universitas Negeri Yogyakarta. Tak hanya itu, cerita islaminya juga lolos dalam sayembara yang diadakan Maskana Media pada tahun 2021.
Selain cerpen, puisinya yang berjudul Rindu Palestina 3 menjadi puisi terbaik menurut Emirbooks (Penerbit Erlangga) dalam lomba yang bertema “Kerinduan pada Palestina”. Puisi tentang bulan Muharram juga terpilih menjadi 20 puisi pilihan dalam lomba menulis puisi yang diadakan oleh Penerbit Emir. Puisi-puisinya yang lain juga dimuat di beberapa media cetak seperti Riau Pos, Bangka Pos, dll. Puisinya dengan judul Teruntuk Kau yang Kusebut Perempuan dimuat di web menjadimanusia.id. Puisi lainnya yang berjudul Kepada Kamu yang Ditunggu Ibu juga dipilih oleh @kata.puan untuk diajak berkolaborasi, Puisi-puisi Teruntuk Kamu yang Kusebut Ayah dimuat di pilardemokrasi.com milik Universitas Islam Indonesia, dan puisi Merdeka itu Tak Pernah Ada di Majalah Pewara Dinamika milik Universitas Negeri Yogyakarta.
Baru-baru ini esainya yang berjudul Kasidah Burdah, Lara, dan Nusantara lolos kurasi dalam undangan terbuka yang diadakan oleh Komunitas Salihara untuk Festival Sastra Salihara 2021. Esai tentang ICAS-Fest 2022 juga menjadi Juara 1 dalam lomba yang diadakan Pascasarjana ISBI Bandung. Esai tentang batik Pariangan meraih predikat Juara 2 pada lomba menulis yang diadakan Bank Indonesia Tasikmalaya. Esai tentang rempah-rempah menjadi terbaik ke-3 pada sayembara menulis sedunia yang diadakan oleh Wangsamudar dan BPCP Jambi. Esainya tentang kuliner juga meraih Juara 1 dalam kompetisi yang diadakan Qraved, juga esainya tentang kegelisahan hidup menjadi Juara Harapan 3 dalam kompetisi yang diadakan Sediksi. Esai tentang menulis dan kesehatan mental menjadi juara 2 pada lomba opini yang diadakan oleh Universitas Brawijaya. Beberapa esai ringan tentang isu-isu pendidikan, sosial, dan budaya juga dimuat di beberapa media cetak seperti Harian Surya, Kompas, Jawa Pos, Riau Pos, ,Pos Bali, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Tanjungpinang Pos, Radar Bromo, Harian Fajar, Harian BMR Fox, Harian Sultra, Rakyat Sulteng, Rakyat Sumbar, New Malang Pos, dan beberapa platform digital. Esai tentang kesusastraan di Magrib.id, tegas.id, susahtidur.net, dan catatanpringadi.com. Esai tentang kebudayaan dimuat di etnis.id dan prodeo.id, esai tentang kependidikan dimuat di gubuktulis.com dan siarpersma.id, esai tentang isu-isu sosial pernah dimuat di arnolduswea.com, nyimpang.com, ibtimes.id, kawaca.com, dan doripos.com, serta esai-esai tentang keislaman pernah dimuat di kalimatunsawa.id, LP Ma’arif NU Jawa Tengah, Web Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, iqra.id, islami.co,sufinesia.com, dan alif.id. tulisan-tulisan tentang cerita perjalanan dimuat di kurungbuka.com, brisik.id, dan brilio.net. Baru-baru ini, esainya lolos kurasi dalam Festival Literasi Tangerang Selatan tahun 2019. Beberapa opininya juga pernah dimuat di beberapa majalah dan buletin, seperti buletin Perspektif edisi satu tahun 2020 milik Universitas Brawijaya Malang dan buletin Manunggal milik Universitas Diponegoro.
Beberapa artikel ilmiah juga pernah dimuat di dalam Jurnal Pena (Universitas Jambi), jurnal Salingka (Kemendikbud), Jurnal Telaga Bahasa (Kemendikbud), Jurnal Medan Makna (Kemendikbud), Jurnal Pembelajaran Bahasa & Sastra (Universitas Negeri Malang), Jurnal Gramatika (Kemendikbud), Jurnal Jembatan Merah (Balai Bahasa Jawa Timur), Jurnal Sirok Bastra (Kemendikbud), dan Jurnal Efektor (Universitas PGRI Kediri).
Selain menulis, Ia juga sering mengisi beberapa kepelatihan Jurnalistik. Baginya, “Menulis adalah mengukir nama di dunia yang sudah lama fana”.