Iklan
Cerpen

Dari Balik Jendela Kaca

Oleh : J. Intifada

Ben, junior di kampus yang sekarang satu perusahaan denganku. Cowo flamboyan yang suka dikelilingi karyawan-karyawan perempuan di kantorku. Sikapnya yang ramah, baik dan suka membantu membuat para teman kantor menyukainya. Bahkan tanpa aku sadari sudah satu tahun saat kami bekerja, dia sudah beberapa kali membuat cewek-cewek magang terbawa perasaannya.

“Kamu kenapa Van?” tanya Erna yang duduk di samping mejaku

Konten Terkait
Iklan

“Oh… ada apa?” jawabku terbata

“Kamu … dari tadi nglihatin Ben terus, kamu suka?” Erna yang daritadi memperhatikanku bertanya.

“Hah… apaan sih.”

“Ya, mana tahu, sedari tadi kamu ngedumel sambil melototin Benu. Sedang yang dilihatin asyik sendiri.”

“Ahh gak lah, aku tuh heran aja, kenapa cewek cewek itu bisa terbawa perasaan sama dia. Padahal dia gak cakep-cakep amat kan.”

“Vanya … Vanya, kamu kenapa? Jealous?”

“Apa … “Jawab ku mengelak

Erna terkekeh dengan jawabanku sambil melihatku berlalu ke kamar kecil.

***

“Hey mblo, sendirian?”

Sapa Ben yang tiba-tiba sudah di belakangku saat ku berjalan sendiri ke kantin. Ku lirik tanpa mengatakan apa-apa.

“Slow mblo,” dia seperti tahu arti lirikanku. Aku berjalan lebih cepat untuk menghindarinya. Ben mengejar dan menjajari langkahku.

“Nanti sore aku jemput ya.”

Aku berhenti dan menatapnya dengan tanda tanya. Kalau tiba-tiba mendekat biasanya ada maunya.

“Ehmmm pekan ini, aku mau jalan dengan Rahel. Pilihkan baju untukku yuk.” Serunya mengerti apa yang ingin ku tanyakan.

Aku menghela nafas dan melanjutkan berjalan.

“Ayolah mblo, Please…” bujuknya sambil membututiku

“Why? Kenapa aku? Kamu kan bisa pergi sendiri.”

“Karena kamu ………… pasti…………. Akan……… membantuku.” Teriaknya dengan berlari tanpa peduli apa aku akan menolak atau menerima.

***

Sorenya dia sudah memarkir kendaraannya di depan rumahku. Aku tak segera keluar untuk menemuinya. Dia menelepon hingga puluhan kali. Saat aku keluar tak terlihat wajah kesalnya karena lama menunggu. Dia malah terlihat sumringah dan segera mengajakku pergi ke Mall.

Di toko baju langganannya, dia mencari-cari baju dengan warna yang sama. Aku tahu dia akan memilih warna favoritnya. Coklat muda. Ternyata dia jalan ke bagian kemeja bercorak dan berwarna. Aku diam – diam mengambil baju. Kemeja hijau lime ku pilihkan. Ku sodorkan padanya.

“No……” jawabnya galak

Aku tertawa cekikikan. Puas sekali melihatnya melotot.

“Mbak, ini ada yang size double XL tidak?” tanyanya ke pramuniaga sambil menunjuk kemeja navy.

“Hanya satu ukuran kak, kalau size besar ada disebelah sana kak.”

Aku hanya menahan tawa mendengar jawaban mbak-mbak pramuniaga. Ben melihatku dan menjitak kepalaku dengan hanger kemeja tadi yang tidak muat di badannya.

“Ouch ….” seruku kesakitan

Sudah 1 jam kami berputar-putar di area kemeja- T-Shirt, T-Shirt-Kemeja. Tapi tak menemukan yang diinginkannya. Kakiku sudah kesemutan. Mencari tempat yang sepi dan selonjoran.

“Ya sudah mbak, ini saja.” Katanya kemudian. Meyakinkan mbaknya yang sedari tadi ikut kelelahan menawari baju sesuai ukurannya. Akhirnya pilihannya ke kemeja coklat muda polos.

“Oh tidak …” gerutuku padanya

“Kenapa?”

“Itu kan sama dengan kemeja yang kamu beli dua bulan lalu Ben. Dan baru kamu pakai sekali. Ngapain beli baju sama.”

“Ini beda brand mblo …” bantahnya

“Ya apa bedanya kalau sama-sama kemeja coklat polos Benuuuuuuuuuuu.” protesku

“Bodo amat.”

“Ihhh. nanti kamu dikira gak punya baju baru lho,”

“Ya tapi kan ini beda merek.”

“Ganti … itu ada yang warna grey atau blue green, violet dan jingga itu juga keren.”

“Gak, netral ini.”

Aku bersungut ingin memelintir rambutnya. Lalu aku pun mengambil dua kemeja dengan warna blue green dan grey tanpa pikir panjang. Aku berjalan ke kasir dan membayar.

“Mbak, sekalian bungkus yang dua ini ya. Yang abu-abu dan hijau tosca.”

“Kamu beli buat siapa?” Tanya Ben penasaran

Aku diam tak menjawab. Mengambil tas belanja dan meninggalkannya di depan kasir.

***

Sesampai di rumah tak biasanya dia mengucapkan terima kasih karena aku mau menemaninya hari ini. Aku tersenyum sambil berkata, “iya sama-sama.” Dalam hati aku ingin tertawa lepas. Tapi tak sanggup melihatnya mengucapkan terima kasih dengan tulus.

Aku melambaikan tangan padanya yang sudah melajukan mobilnya. Aku lirik tas belanjaanku dan tak tahan lagi untuk tertawa.

Malam ini, aku akan tidur dengan tenang. Ku matikan handphone agar Ben tak menggangguku malam-malam. Good night Ben, See you in office. Ucapku pelan sebelum memejamkan mata dengan tersenyum riang.

***

“Mblo…… Belanjaan kita tertukar ……”

“Mblo…… Kamu udah tidur?”

“Aku balik ke rumahmu ini. Duh … Kamu ini gimana sih tadi …”

“Kamu beneran tidur ini. cepet banget sih.”

“Besok pagi, aku antar ini baju ke rumahmu.”

“Mblo…… Udah bangun belum ?”

Aku mengerjap-ngerjap mata saat mengecek handphone keesokan harinya. Sudah ada belasan chatnya memberondongku dari semalam. Ku letakkan kembali Sengaja aku tak membalas.

“Mblo…… aku kerumahmu ya ambil baju ku kemarin.”

“Mblo …… kamu kok gak bales sich. Aku nanti siang jalan nih.”

“Parah mblo, baju pilihan kamu jelek banget… Duhhh mana cakepku ilang kalau kayak gini mblo.”11.00

Ben membrondongi ku dengan pesan yang tak henti-henti. Dia mengomel sepanjang hari. Walau aku tak mendengar ocehannya tapi dengan pesan yang masuk bertubi-tubi membuatku seperti mendengar suaranya.

Pesannya mereda setelah lewat tengah hari. Mungkin dia sedang bertemu dengan Rahel. Aku membayangkan dia akan bete seharian karena memakai baju yang tak disukainya. Malamnya dia baru mengirimiku pesan lagi.

“Mblo, makasih ya, ternyata pilihan kamu sama kayak Rahel. Dia bilang aku cakep pakai baju abu-abu.”

Aku hanya menghela napas dan memandangi pesannya tanpa berniat membalas.

***

Dua bulan berlalu, Ben masih terlihat jalan bersama Rahel. Setiap kali kami akan berpapasan, aku akan bersembunyi. Beberapa kali dia menelepon dan mengirim pesan selalu ku abaikan. Sedang malam ini, saat aku memikirkan dia, tiba-tiba dia menelepon lagi.

“Angkat teleponku mblo, aku pengen curhat.” Pesan singkatnya sebelum ku angkat teleponnya. Sesaat kemudian dia menelepon. Dengan berat ku terima panggilannya.

“Kamu kemana aja mblo? kangen.” Katanya tiba-tiba

Aku tak menjawab dan masih bingung dengan pernyataannya tiba-tiba. Bukankah kemarin dia masih jalan dengan Rahel.

“Aku putus dengan Rahel.” katanya seperti mengetahui kebingunganku.

“Dia selalu komplain dengan baju yang aku pakai. Katanya aku tak pernah ganti. Padahal kan itu beda merek.” Tuturnya lagi

“Dia juga suka minta dikabarin tiap waktu, minta makan bareng kalau pulang dari kantor, minta dianterin kemanapun dia mau. Padahal waktu itu masih jam kantor.”

“Terus? Wajarkan cewek minta perhatian cowoknya.” Jawabku membela Rahel

“Iya, tapi sepertinya aku sudah melakukan apa yang dia inginkan. Tapi malah dia yang minta putus, karena dia pikir aku gak seperti dulu.”

“Syukurlah.”

“Kenapa bersyukur?”

“Ya syukurlah bukan kamu yang menyakiti dia.”

“Jadi kamu seneng aku sedih patah hati?”

“Mblo, kamu kan jadi bisa fokus kerja lagi. Kariermu masih panjang. Kalau kamu masih cinta sama dia, buktikan dong dengan kerja kerasmu dan setelah tabunganmu cukup, lamar dia mblo….” Ledekku menirukan dia yang pernah menasehatiku untuk tidak bersedih karena gagal dilamar dengan fokus bekerja mengejar karier.

“Gak Van, dia udah punya baru yang lebih kaya. Mulanya aku tak percaya. Tapi setelah melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku sekarang paham. Cantik itu dari hati.”

Aku terdiam mendengar penuturannya. Inginku meledeknya lagi. Sejak kapan dia mendefinisikan cantik dari hati. Bukannya dia yang beberapa kali mengejekku karena tak cantik. Ah aku mulai ke GR an.

“Keluarlah, aku diluar.” Katanya kemudian

Aku berlari mengintip jendela depan. Ben melambaikan tangan sambil bersandar di mobilnya. Aku menutup telepon dan menemuinya.

“Makan yuk, aku lapar.” Ajaknya sambil mendorongku masuk ke mobilnya.

***

Kami makan di tempat biasa. Dia suka penyetan. Memilihkanku bebek penyet kesukaanku. Aku hanya menurut apa yang dia inginkan.

“Kamu kemana saja sih. Ngilang mulu kalau dicari. Ditelepon gak diangkat di wa gak dibales?”

Aku hanya mengangkat bahu dan duduk di pojokan. Selesai memesan es teh dan es jeruk dia menghampiriku. Kami duduk berhadapan. Aku mencoba mengusir kecanggungan dengan bermain gadget. Tiba-tiba dia memulai pembicaraan yang membuatku terkejut.

“Mblo, nikah yuk.”

“Hah?”

Aku membelalakkan mataku. Hampir tak percaya dengan apa yang dia katakan. Dia memandangiku dengan serius tanpa tertawa. Apakah benar apa yang dia katakan?

Seketika suasana menjadi hening. Dia masih menunggu jawabanku dan aku menunggu kalimat selanjutnya. Kami saling berpandangan dengan membawa pertanyaan masing-masing.

“Kamu sadarkan?” tanyaku kemudian

“Hati-hati dong kalau ngomong.”

Aku pun terdiam tak melanjutkan juga tak menanyakan lagi. Kami sama-sama diam. Dia pun tak membahas lagi. Makanan datang dan kami menikmati makanan kami masing-masing sembari membahas pekerjaan kantor.

Selesai makan dia langsung mengantarku pulang. Sepanjang perjalanan di mobil hening tak ada suara. Kami larut dalam lamunan kita masing-masing.

Sesampainya di rumah, dia berkata, “Mblo, makasih ya udah jadi teman yang baik selama ini.”

Aku mengangguk dan menjawab iya. Suasana canggung terasa. Aku mulai kikuk dan tak tahu harus ngomong apa. Kemudian berpamitan. Dia juga ikut mengangguk dan mempersilakanku pergi.

Setelah membuka gerbang pagar ketika hampir masuk gerbang rumah, dia keluar dari mobil dan memanggilku.

“Mblo, aku tunggu jawabannya.”

Belum sempat aku menengok dan bertanya dia sudah masuk ke dalam mobil dan pergi. Aku hanya memandangi mobilnya berlalu dan menghela napas.

Paginya di kantor, Ben sudah menunggu di ruang kerjaku membawa segelas air putih. Tak seperti biasa yang selalu wara wiri mengelilingi tiap meja karyawan wanita lain sambil tebar pesona. Selesai memberikan gelas berisi air putih dia kembali di meja kerja sambil tersenyum. Aku hanya bisa pasrah dengan tingkahnya yang agak lain.

“Ben kenapa tuh?”

“Gak tahu, mungkin kesambet.”

“Kemarin masih jalan sama Rahel, kenapa mendadak baik sama kamu?”

Aku diam tak menanggapi komentar Erna. Erna yang tahu perubahan sikap Ben juga ikut heran. Di kantor, kami bersikap seolah tak ada perbincangan serius semalam. Dia lebih banyak memanggilku seperti biasa, mblo dan meminta bantuan. Aku membantu sekedarnya dan berusaha untuk tidak terpengaruh dengan perkataannya semalam.

Jam makan siang, Ben menungguku. Melihatku berjalan bersama Erna, dia membuntuti dari belakang diam-diam. Aku hanya menengok sebentar dan meneruskan berjalan ke kantin sembari mengobrol dengan Erna.

Ben masih mengekor saat aku memesan makanan dan duduk di tempat makan. Dia memilih duduk di seberang kami. Aku dan Erna tak menghiraukannya. Kami asyik makan sendiri-sendiri.

Setelah sholat asar, aku bergegas berberes untuk pulang. Ku lihat Ben sudah siap dengan tasnya untuk beranjak pulang. Dia menunggu di pintu lobi. Begitu aku sampai di dekatnya di menengokku.

“Yuk.”

Aku hanya memandanginya.

“Masih lama diamnya?” tanyanya

Aku bersungut dan mengikutinya masuk mobil. Di dalam mobil dia memutar lagu kesukaanku “Dan” Sheila on7. Sejak kapan dia menyukai lagu yang sama denganku. Bukannya dia suka lagu – lagu Letto.

“Tumben.”

“Apanya.”

“Biasanya lagu senyumanmu.”

“Oh, itu nanti kalau sudah sampai rumah.”

“Maksudnya?”

“Ya kan, senyumnya masih bisa ku lihat sekarang.” Jawabnya sambil cengar cengir.

Aku tambah manyun mendengar jawabannya. Sebab karena sikapnya benar-benar berubah romantis tak seperti biasa. Ajakan nikah, gombalan, perhatian, tak biasa aku terima.

“Kamu pasti kesal karena aku seperti berubah.”

Aku pura-pura tak mendengar sambil melihat pemandangan diluar.

“Aku beneran Van, gak ada yang bisa buat aku nyaman jadi diri sendiri kecuali sama kamu.”

Dia memulai penjelasannya. Bersamaku dia bisa menjadi diri sendiri. Tak harus jaga image jadi seseorang yang gak enakan. Bisa leluasa cerita masalah kantor tanpa harus diceramahi dan digurui balik. Semua keluhannya selalu ku dengar dan apa yang dia mau tak pernah ku komplain.

“Ya kan karena kita temen mblo. Wajarlah kalau kamu merasa nyaman.”

“Tapi apa kamu gak ada rasa pada aku Van?”

Aku tak bisa menjawab. Dia melirikku sambil menyetir. Gang rumahku semakin dekat. Tapi laju mobil sepertinya tidak ada tanda-tanda belok kiri. Dia masih fokus dengan kecepatannya. Hingga gangnya terlewati.

“Rumahku kelewatan Ben.” Kali ini aku menyebut namanya. Karena dia sudah tak menyebutku mblo seperti biasa kala meledek.

“Kamu beneran gak mau jawab? Kamu mau kelewat kayak gang rumahmu?”

Aku menghela napas. Tak mudah menjelaskan pada jomblo tebar pesona ini.

“Bagaimana tanggapan keluargamu tentang aku. Aku seniormu.”

“Memang kenapa?”

“Kamu bilang ingin yang lebih muda biar kamu bisa punya anak.”

Ganti dia yang terdiam. Penjelasanku adalah memutar balikkan apa yang pernah dia katakan tentang semua keinginannya kelak waktu menikah. Tentang calon istri yang dia idamkan dan tentang kehidupan rumah tangga yang seperti apa.

Ben tak menjawab lagi. Hingga akhirnya mobilnya belok di gang rumahku dari jalan satunya.

“Maafkan aku saat itu. Aku masih belum berpikir dengan baik. Tapi yang jelas, kata-kataku semalam adalah sungguh-sungguh. Aku akan menunggumu sampai kapanpun.” Katanya kemudian setiba di depan rumahku.

“Terima kasih Ben, tapi mungkin sebaiknya kita mengenal satu sama lain lebih dulu. Aku akan menerimamu tapi tidak sekarang. Kamu harus menyelesaikan apa yang ada didirimu. Setelah itu, tanyakan pada hatimu. Benarkah aku yang kamu inginkan. Bila jawabannya masih sama datanglah padaku, bila tidak, aku tidak keberatan kamu memilih yang lain.”

Aku meninggalkan Ben untuk merenung. Kehidupan pernikahan bukan sebuah permainan. Aku tahu, aku sudah cukup usia untuk menikah. Tapi bukan berarti aku terburu-buru memilih pasangan. Walau aku sudah mengenalnya lama, namun aku harus memastikan apakah dia benar dengan hatinya atau hanya kehendaknya sesaat.

“Hubungi aku 3 bulan kemudian. Beritahu aku keputusanmu nanti. Aku akan menerima apapun itu.”

Ben hanya menatapku dari balik jendela kaca. Aku melambaikan tangan dan menyuruhnya pergi. Lama dia menatap. Kemudian menutup jendela kaca dan menghidupkan mesin. Melajukan mobil meninggalkan rumahku.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Lihat Juga
Close
Back to top button