Tradisi Gotong Royong

Oleh Hamidulloh Ibda
Dosen dan Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kemahasiwaan Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung
Kita tidak bisa membayangkan jika manusia di Indonesia ini tidak kenal lagi dengan gotong-royong. Tentu bubar. Jauh-jauh hari, Nasida Ria telah meramal kehidupan tahun 2000 dengan apik dalam lagu Tahun 2000. Tahun dua ribu tahun harapan//Yang penuh tantangan dan mencemaskan//Wahai pemuda dan para remaja//Ayo siapkan dirimu//Siapkan dirimu, siap ilmu siap iman//Siap. Wahai pemuda remaja sambutlah//Tahun 2000 penuh semangat//Dengan bekal keterampilan//Serta ilmu dan iman Bekal ilmu dan iman.
Selain itu, Bang Haji Rhoma Irama tahun 1993 telah merillis lagu Ibukota yang mengilustrasikan betapa ironisnya masyarakat di ibukota yang tidak mengenal lagi tepa selira, subasita, unggah-ungguh, dan gotong-royong. Setahun sekali belum tentu//Dengan tetangga bisa bertemu//Di ibukota, di ibukota, di ibukota. Pagar rumahnya pun tinggi-tinggi//Hidupnya pun sudah nafsi-nafsi//Di ibukota, di ibukota, di ibukota. Berbagai macam kebutuhan//Meliputi warganya//Hingga sedikit kesempatan//Untuk berbagi rasa. Menipis sudah tali jiwa//Yang mengikat warganya//Berkurang sudah tenggang rasa//Di antara sesama. Rasa perseorangan sikap warga ibukota//Rasa kebersamaan sudah memprihatinkan. Hidup selalu terburu-buru//Seakan-akan dikejar waktu//Di ibukota, di ibukota, di ibukota. Mereka bersaing dan berlomba//Saling membanggakan harta benda//Di ibukota, di ibukota, di ibukota. Di ibukota, di ibukota, di ibukota//Di ibukota. Lirik Bang Haji ini menarik, mengilustrasikan fakta sosial di Jakarta, bahkan mungkin saat ini hampir di semua tempat.
Munculnya perumahan menjadi salah satu akibat gotong-royong mulai terkikis. Meski tidak semua perumahan demikian, namun fakta sosialnya memang demikian. Mereka berangkat pagi, pulang petang. Bahkan dengan tetangganya sendiri saja tidak kenal. Bisa jadi, hanya setahun sekali mereka bertegur sapa. La bagaimana mana mau menghidupkan tradisi gotong-royong, ketika bertemu saja tidak pernah. Paling-paling, ketemunya dengan satpam perumahan dan petugas kebersihan. Duh!
Kearifan Islam dan Indonesia
Islam dari dulu selalu menekankan pentingnya tolong-menolong, gotong-royong, bantu-membantu, atau istilah lain. Sebab, tidak mungkin makhluk sosial tidak bantu-membantu, karena ketika masih manusia, pasti membutuhkan manusia lain, bahkan hewan pun demikian. Gotong-royong dalam konteks ini bisa berasal dari kata ta’awun yang berasal dari kata dasarnya berasal dari ta‘awana-yata’awanu yang mempunyai konotasi saling menolong. Jika ada timbal balik berarti tolong-menolong, gotong-royong. Begitu!
Allah Swt berfirman “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolonglah dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2). Hal ini menegaskan, umat Islam wajib menolong ke semua makhluk, tidak terbatas pada manusia saja, jenis kelamin, suku, agama, bahkan budaya. Menolong bukan soal kenal dan tidak kenal, dekat dan tidak dekat, namun memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan.
Dalam Islam, spirit gotong royong itu rahmatallillamin, atau memberikan kasih sayang untuk semua alam. Semua umat Islam wajib hukumnya memberikan pertolongan kepada semua makhluk, tidak terbatas identitas dan primordialitas. Jika belum menjalankan amanat tersebut, berarti ia belum Islam sepenuhnya.
Orang Kristen memiliki kearifan bahwa gotong royong itu semangat kasih. Maka doktrin saudara kita yang beragama Kristen adalah “cintaulah saudaramu, cintailah Tuhanmu, sebagaimana engkang mencintai dirimu sendiri”. Begitu pula dengan orang Hindu yang memiliki ajaran tat twam asi, yang berarti kamu (semua makhluk hidup) dan dia Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah sama. Aku adalah engkau, engkau adalah aku. Begitu kearifan orang Hindu, sehingga semua masyarakat yang beragama Hindu tentu wajib menjaga tradisi gotong-royong.
Spirit Budhisme juga sama mendukung gotong-royong. Maka ketika dalam suatu acara ritual keagamaan mereka, biasanya ditutup dengan doa semoga semua makhluk bahagia. Kebahagiaan tak mungkin didapat ketika manusia hidup individual. Simpulannya berat sama dipukul dan ringan sama dijinjing.
Yudi Latief (2021) menyebut manusia Indonesia memiliki kearifan dalam menjaga tradisi gotong-royong. Orang Sunda memiliki falsafah hidup “silih asah, silih asih, silih asuh”. Hal ini menegaskan, semua orang Sunda wajib saling asah (belajar), asih (peduli), dan asuh (menyayangi). Pepatah Melayu menyebut “asam di gunung, garam di laut, bersatu dalam satu belanga” yang artinya jodoh seseorang bisa saja berasal dari tempat yang jauh, tetapi bertemu juga. Dalam konteks sosial, orang tidak bisa berjodoh, bermasyarakat, bersosial ketika tidak bersatu atau melebur ke dalam tradisi tolong-menolong.
Orang Papua atau Maluku memiliki falsafah bahwa gotong royong itu semangat basudara (bersaudara). Bersaudar dari kata seudara, artinya semua orang boleh beragama apa saja, namun yang dihirup adalah satu oksigen yang sama maka masih bersaudara. Ketika bersaudara, maka tidak ada alasan untuk tidak saling membantu, tolong-menolong, dan gotong-royong.
Pepatah Jawa juga demikian, karena orang Jawa pasti pernah mendengar istilah memayu hayuning bawana. Di dalamBahasa Indonesia menjadi memperindah keindahan dunia. Orang Jawa, wajib hukumnya memercantik bukan merusak. Memercantik di sini tentu melalui perbuatan dan tradisi baik, ya tepa selira, suba sita, tolong-menolong, dan berbuat baik lebih banyak lagi kepada siapa saja, di mana saja dan kapan saja.
Sastrawan Sutardji Calzoum Bachri dalam puisinya berjudul “Satu” juga menegaskan “yang tertusuk padamu, berdarah padaku”. Petikan puisi ini tentu mengajarkan kita untuk bergotong royong.
Satu
kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika jari jemarimu tak bisa memetikku
ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
jika ususmu belum bisa mencerna ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu
daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku
Puisi tersebut mengajarkan kita bukan hanya menolong, bergotong-royong pada kekasih atau orang yang dicintai saja, melainkan dengan semua makhluk. Tentu wajib kita lakukan sebuah tradisi tolong-menolong, gotong-royong kepada semua makhluk.
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I (Raden Mas Said) atau dikenal dengan Pangeran Sambernyawa yang juga pahlawan nasional memiliki ajaran Tridharma, yaitu Mulat Sarira Hangrasa Wani, Rumangsa Melu Handarbeni, Wajib Melu Hangrungkebi. Ajaran ini sangat agung karena berisi ajakan untuk gotong-royong.
Mulat Sarira Hangrasa Wani berarti berani berintrospeksi/mawas diri. Orang yang mau dan berani introspeksi adalah orang yang akan selamat. Rumangsa Melu Handarbeni yang berarti merasa ikut memiliki. Orang yang merasa ikut memiliki tidak mungkin berani meninggalkan tradisi gotong-royong. Wajib Melu Hangrungkebi atau Wajib Melu Hanggondheli berarti berkewajiban ikut membela/mempertahankan. Sudah jelas, hanya orang yang memegang teguh tradisi gotong-royonglah yang berani membela dan mempertahankan apa-apa yang baik, dan apa-apa yang lebih baru yang lebih baik.
Semua kearifan-kearifan di atas sangat berat kita lakukan. Tentu, spirit ini harus kita lakukan dengan doktrin “satu untuk semua, semua untuk satu” sebisa kita, sesuai tugas, proporsi, dan kewenangan kita. Yang paling penting kita harus gotong-royong, bukan gotong-nyolong. Lebih penting lagi, kita mulai dari hal-hal kecil dan kita mulai sekarang juga. Sebab, sesuai yang besar pasti dimulai dari hal-hal kecil. Pertanyaannya, kapan kita bergotong-royong?