Semua akan NU pada Waktunya

Oleh : Maulana Karim Sholikhin*
Dulu, dulu sekali, diceritakan bahwa Imam Syafi’i sudah mengajar di Masjidil Haram sebelum usianya genap 12 tahun. Santrinya bukan anak-anak yang masih belajar a-ba-ta, melainkan para syaikh, pemuka agama. Bukan main!
Al kisah, di suatu hari di Bulan Ramadhan, Imam Syafi’i mengajar sejak pagi sampai siang bolong. Saat mencapai tengah hari, beliau tak tahan lagi dengan terik yang menghantam kepala dan dahaga yang mengoyak tenggorokan. Hingga di sela pengajaran, sang syaikh pun permisi sejenak memulihkan energi.
Tapi siapa sangka, Seorang imam, syaikh muda berkharisma, ternyata dengan sengaja minum air, padahal bulan puasa. Seger bener!. Sontak, santri yang memergokinya pun kaget setengah mati dan memberanikan diri untuk tabayun kepada Sang Guru.
“Lhoh, njenengan kok mokel (buka sebelum waktunya-red), kanjeng syaikh?,” tanya si Murid.
Di hati santri tersebut barang kali ada rasa kecewa. Seorang yang ia anggap sebagai guru, murabbi ruh, ternyata melanggar kewajiban, rukun Islam, lagi. Sungguh terlalu. Namun tak diduga, Imam Syafi’i justru memberikan jawaban yang sangat cool.
“Sek, sek… menurut yang panjenengan pelajari, batas baligh itu berapa tahun?,” tanya Imam Syafi’i.
“Maaf, 14 tahun atau sudah mimpi anu, kanjeng syaikh, mohon koreksi jika saya salah.”
“Lha, ya. Wong saya belum pernah mencapai keduanya, kok. Berarti saya belum baligh. Kalau saya mokel, itu tidak termasuk melanggar perintah Allah,” jawab Imam Syafi’i. Semua santri pun lega.
***
Jaman 4.0 ini, kerap kita temui, orang-orang yang belum banyak tau tapi suka tuding-tudingan. Jujur saja, NU lah yang sering jadi sasaran, mulai kasus tahlilal, maulidan, manaqiban hingga soal prinsip bernegara.
Sebagai orang NU, penulis cukup dongkol. Bagaimana tidak? Mereka dengan seenaknya menuduh Nahdliyyin sebagai ahlul bidngah, kafir, musyrik dan lain sebagainya. Andaikan mereka mau meneladani santrinya Imam Syafi’i tadi, penulis cukup yakin, semua akan NU pada waktunya.
*Penulis adalah Pendidik di Ponpes Shofa Az Zahro’ dan MI Hidayatul Islam