Pencarian Surtini
Oleh : J. Intifada
Pagi buta Surtini sudah bangun, mandi lalu melakukan sholat malam. Di dalam munajatnya dia meminta kebahagiaan dan keselamatan keluarganya. Dilanjutkan membaca ayat-ayat cinta dari Sang Kekasih. Sebuah rutinitas menjelang pagi tak pernah terlewat sekalipun. Selesai mengadu dan berkomunikasi dengan penciptaNya, dia mulai melakukan pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci baju kotor yang sudah direndamnya semalam sambil menanak nasi di penanak elektronik yang tinggal klik, beras yang sudah dicampur air akan matang sendiri.
Selesai mencuci, Surtini menjemur di halaman belakang rumah. Tak lupa membalikkan bagian baju yang di dalam keluar. Selanjutnya dia ke dapur menyiapkan sarapan untuk suami dan dua anaknya. Vanes dan Wira. Kakak adik ini hanya beda 2 tahun. Yang pertama Vanes, sudah kelas 3 SD, adiknya, Wira baru masuk kelas 1. Mereka sekolah di SD yang sama.
Tiap pagi mereka sudah terbiasa bangun sendiri sebelum ibu membangunkannya. Jam 5 mereka sudah berangsur turun dari ranjang. Vanes membantu adiknya turun dan menata bantal ke pinggir. Ibunya akan menghampiri mereka saat mendengar suara mereka saling berebut melipat selimut.
Sembari memperhatikan adik kakak itu merapikan tempat tidur, Surtini menyiapkan baju seragam sekolah mereka dan membantu mereka membersihkan diri. Wira lebih dulu selesai mandi, kemudian bergantian Vanes yang sudah bisa mandi sendiri. Setelah itu mereka akan berganti baju tanpa bantuan ibunya. Surtini kembali ke dapur. Melanjutkan membuat sarapan kesukaan anak-anak yang tertunda. Telor mata sapi dan nasi hangat diberi mentega diatasnya. Seperti iklan di waktu kecilnya. Rasa nasinya menjadi asin dan gurih.
Selesai berganti seragam, anak-anak Surtini menemuinya di ruang makan. Bapaknya telah menunggu untuk sarapan bersama. Keluarga Surtini bukan keluarga kaya raya. Mereka sederhana tapi menerapkan gaya hidup layaknya orang kaya. Selalu makan bersama di meja makan. Kecuali makan siang. Karena bapaknya belum pulang dari bekerja.
Setiap makan mereka akan saling bercerita dan bertukar pikiran. Apa yang akan mereka lakukan atau apa yang sudah mereka lakukan seharian. Vanes yang selalu bersemangat menceritakan kegiatannya di sekolah. Bapak ibunya akan tersenyum menanggapi. Terkadang pula memberikan sedikit nasehat bila dikira apa yang dilakukannya keliru. Wira juga suka menimpali dengan celotehan lucu. Terkadang ikut membela kakaknya bila kena omelan ibunya.
“Kakak kemarin tidak beliin aku jajan bu.” Wira mengadu
“Dia bu, kalau diberi jajan selalu dihabiskan. Aku tidak diberi lagi.”bela Vanes
“hmm… itu jajan dimakan bersama. Harus saling berbagi. Kalian harus bersyukur masih bisa beli jajan. Coba bayangkan anak-anak di Palestina. Mereka tidak bisa sesukanya membeli jajan.”
Wira dan Vanes mendengarkan nasehat ibunya. Mereka pernah mendengar bahwa di Palestina saat ini sedang ada perang. Anak-anak disana berjuang mempertahankan tanah negerinya. Mereka tidak bisa makan dan tidur dengan nyaman seperti anak-anak disini. Wira dan Vanes pun mengangguk dan berjanji akan saling berbagi kepada siapa saja.
Di waktu lain mereka bercerita tentang teman-teman di sekolahnya. Vanes bercerita bahwa ada penilaian cerita bergambar di kelas. Semua anak harus mempraktekan cerita bergambar itu di depan kelas. Vanes bilang dia ingin membeli perlengkapan yang seperti di dalam cerita gambar itu. Tetapi dia takut meminta ke ibu dan bapaknya.
“Bu, besok ada penilaian praktek cerita bergambar. Apakah aku bisa membeli peralatan yang ad di gambar ini?”
Surtini memperhatikan gambar dan bertanya.
“Apa saja yang kamu perlukan nak?”
“Saya butuh topeng kelinci dan kura-kura bu.”
“Belinya dimana?”
“Kata temenku di online.”
Surtini tersenyum dan berkata. “Mengapa kamu tidak membuatnya saja dari kain atau kardus atau kertas? Bukan ibu tidak mau membelikan. Tapi ibu ingin anak ibu berkreasi. Tidak semua yang kita inginkan itu bisa dibeli dengan uang. Bisa jadi malah dengan properti yang dibuat sendiri nanti nilaimu yang paling tinggi.”
Vanes tersenyum dan mengangguk. Dia setuju untuk membuat topeng itu dengan dibantu ibunya. Surtini yang akan membelikan bahan-bahannya. Nanti sepulang sekolah mereka akan membuat peralatan yang diperlukan untuk praktek cerita bergambar esoknya.
Selesai menyiapkan sarapan dan mengantar anak sekolah, Surtini kembali ke rumah dan menyiapkan diri bekerja. Dia tidak bekerja kantoran pun tidak kerja pabrikan. Dia hanya pengasuh anak di tempat penitipan anak yang bergaji harian. Suaminya bekerja di bengkel dekat rumah. Gajinya pun tak seberapa. Namun mereka menerima apapun yang ada. Karena mereka menyakini, rejeki sudah ada yang mengatur, Allah yang akan memberi lebih banyak lagi apabila pandai bersyukur. Tugas mereka hanya bekerja.
Keseharian Surtini mengasuh anak di tempat penitipan. Anak-anak dari rentang usia 2-4 tahun, usia sebelum masuk paud. Disana dia tidak hanya mengasuh tetapi juga memberikan permainan edukasi sesuai usianya. Tidak ada kurikulumnya. Tetapi pimpinannya menginginkan anak-anak ini juga mendapatkan stimulasi pra paud. Jadi setiap hari Surtini dan pengasuh lainnya memberikan berbagai permainan yang merangsang otak anak-anak untuk aktif. Di tempat penitipan Surtini dekat dengan PAUD. Masih satu yayasan.
Selain bekerja sebagai pengasuh di tempat penitipan anak, Surtini juga bekerja lepas sebagai penulis di majalah online nasional. Kang Majid penulis yang juga bekerja di kantor yayasan pentitipan anak tempat Surtini bekerja yang memotivasinya untuk menulis. “Kamu harus banyak membaca mbak sur.” Kata kang Majid
Ketika awal dia belajar menulis, tulisannya mendapat kritikan pedas dari Kang Majid. Dia menceritakan bagaimana mendapat penghasilan dari menulis. Surtini berminat untuk belajar. Tiap kali tulisannya di coret kang Majid, Surtini tidak menyerah. Dia tetap menulis. Hingga guru menulisnya itu mengatakan tulisannya sudah laik terbit, walau masih penuh revisi. Tapi lumayanlah.
“Ini sudah lumayan. Mulai besok, kirim 1 naskah ke email saya ya. Nanti saya bantu terbitin ke majalah ADA.”
“Beneran kang?”
“Iya mbak Sur,”
“Untuk royaltinya gimana Kang?”
“Nanti kalau sudah terbit, saya akan meminta no rekening sampean.”
“Tapi saya tidak punya rekening kang.”
“Ehm, kalau itu nanti gampang.”
Royalti Surtini dari menulis dibilang cukup untuk menambah pemasukan uang belanja. Suaminya juga mendukungnya untuk menulis. Terkadang suaminya ikut memberikan ide dan gagasan untuk Surtini tulis. Saat Surtini buntu dengan tulisannya, suaminya menyemangati dengan mengajak bicara dan diskusi. Kadang juga dia ajak pergi ke alun-alun untuk sekedar merefresh otak.
Pukul 1 siang anak yang dititipkan sudah dijemput oleh orang tuanya. Saatnya Surtini pulang ke rumah. Di tempat penitipan ada 11 anak yang dititipkan. Surtini bersama 3 pengasuh lain tidak hanya menjaga anak-anak, namun juga memberi permainan edukatif yang sudah diberi panduan dari pimpinannya.
Di tengah perjalanan, Surtini mampir ke warung tetangga. Dia berbelanja untuk makan siang. Vanes dan Wira pasti sudah menunggu makan siangnya. Mereka pulang sekolah dijemput bapaknya. Di warung tetangga Surtini bertemu dengan Mbak Mar.
“Mbak Sur, nanti sore kumpul di rumah Pak Tejo.”
“Siap mbak Mar. aku juga mau ketemu dengan Bu Tejo untuk totalan hari ini habis berapa.”
Mbak Mar mengingatkan Surtini tentang kegiatan nanti malam. Tiap malam jumat, ada pembagian nasi bungkus gratis. Aku sudah mengikuti kegiatan ini selama 3 tahun. Baru 1 tahun ini, aku dipercaya untuk memegang keuangannya. Tiap akhir bulan aku akan melaporkan berapa donasi yang masuk. Ada donatur tetap dan ada donatur musiman. Pada donatur tetap inilah laporan dana dilaporkan.
Kegiatan sosial Surtini dimulai sore hari. Ketika dia selesai membereskan rumah dan mengurus dua anaknya untuk pergi mengaji, Surtini pergi bergabung di gerakan berbagi bersama. Kebetulan malam ini kamis malam. Jadwal rutin untuk membagi nasi bungkus. Ada beberapa relawan yang sudah siap untuk membuat nasi bungkus dan yang membagi kepada fakir miskin atau orang-orang yang ada di jalanan. Selain kegiatan membagi nasi bungkus, tiap 1 bulan sekali ada pembagian sembako. Dia tidak pernah absen untuk mengikuti.
Dia pernah mengikuti pengajian, seorang kyai berkata,”Mereka miskin bukan karena kehendak mereka, tapi sudah kodratnya. Jadi, selagi kita mampu untuk membantu mereka. Bantulah. Jangan mencibir. Bagaimana rasanya jadi mereka yang serba kekurangan.”
Kalimat itu yang selalu terngiang dalam hati Surtini. Apapun kondisinya, dia selalu menyisihkan hasil kerjanya untuk sedekah. Walau penghasilannya cukup untuk makan hari itu, dia tetap mensyukurinya. Suaminya juga tidak pernah mengeluh dengan masakannya. Apapun yang terhidang di meja, dia makan tanpa mengeluh.
Selama mengikuti kegiatan ini tak pernah ada masalah. Baik masalah keuangan, dengan rekan kerja ataupun donatur berjalan dengan baik. Surtini bersyukur karena kegiatan ini banyak manfaatnya. Hanya saja saat itu, ada salah satu anggota relawan yang mempertanyakan motor baru yang dia beli.
“Mbak Sur, itu motor baru ya.”
“Nggih Pak Dirjo, Alhamdulillah, suami dapat rejeki. Jadi bisa beli motor buat saya kegiatan luar.”
“Oh begitu.”
Surtini mengangguk dan tersenyum. Melihat reaksi Pak Dirjo saat dia menjelaskan keberadaan motor baru membuat dia tak enak hati. Selama rapat internal dengan sesama pengurus inti, Surtini tidak nyaman. Para anggota lain seperti berbisik tanpa dia tahu topik apa yang mereka bicarakan. Ketika Surtini datang, mereka meliriknya dan kembali berbisik. Surtini ingin ikut nimbrung. Tapi merasa tidak etis, karena dia tidak dilibatkan dalam pembicaraan mereka.
Rapat internal dimulai. Dibuka oleh Pak Dirjo, wakil ketua organisasi. Ketua organisasi, pak Kholil sedang mengikuti pelatihan filantropi di luar negeri. Untuk sementara kegiatan bulan ini, Pak Dirjo yang mengatur dan mengawasi.
“Mbak Sur, untuk keuangan bulan ini pemasukan ada berapa ya.”
“Bulan ini masuk 10 jt pak, dan yang keluar 5jt sekian.”
“Apa bisa menunjukkan laporannya sekarang.”
“Ada di buku pak.”
“Coba mbak Sur perlihatkan pada kami.”
Perasaan Surtini semakin tidak enak. Gaya bicara Pak Dirjo tidak seperti biasanya yang selalu enak untuk bercanda. Saat itu, bola matanya terbuka lebar dan nada bicaranya seolah ingin menginterogasi. Buku laporan diberikan ke pak Dirjo. Pak dirjo meneliti dengan seksama. Sambil membolak balikkan halaman demi halaman. Meneliti satu persatu tulisan di buku keuangan.
“Ini kenapa tidak ada rincian pengeluaran.”
“Rincian pengeluaran ada di Mbak Eka pak, saya hanya menyerahkan globalan ke dia.”
“Ya harusnya di cocokkan. Apakah uang di mbak Eka sama dengan uang yang anda pegang.”
Pak Dirjo masih ngotot tentang isi buku keuangan Surtini. Mbak Eka ikut menjelaskan dan memberikan bukti-bukti pengeluaran.
“Saya ingin hari ini kita terbuka. Kondisi keuangan masih berapa. Sebelum kita melaporkan ke forum para donatur. Saya ingin ada kegiatan tambahan selain pembagian nasi bungkus.”
“Tapi kan kita harus menunggu Pak Kholil datang pak sebelum memutuskan sesuatu.” Bantah Aldo
“Pak Kholil sudah mempercayakan pada saya untuk melanjutkan program. Jadi saya minta Mbak Sur segera membuat laporan keuangan yang bisa dibaca segera. Agar kita bisa merealisasikan program tambahan lain.”
Surtini dan Mbak Eka mengiyakan permintaan Pak Dirjo tanpa mengeluh. Walau dalam hati merasa diperlakukan semena-mena. Harusnya dia diminta baik-baik untuk membuat laporan seperti biasa. Tetapi situasinya membuatnya tidak nyaman. Ada sesuatu yang mengganjal hati dan pikirannya.
Setelah itu di dalam ruangan tampak semua terdiam. Tiba-tiba terdengar bisik-bisik dari belakang pak Lem bahwa Surtini menggunakan uang sumbangan untuk membeli motor baru. Surtini mendengarnya dan bertanya apa maksud itu. Pak Lem yang biasa mengurusi bagian logistik menjelaskan kasak kusuk itu. Surtini berdiri dan berteriak tidak terima. Dia membantah tuduhan itu.
Tiba-tiba pak Dirjo menggebrak meja. Membuat semua yang berdebat terdiam. Surtini maju ke depan dan dengan lantang menjelaskan. Namun sepertinya forum tidak menghendaki penjelasannya. Pak Lem mengeluarkan kata-kata kasar karena tidak menerima ketika surtini memotong pendapatnya.
“Darimana motor itu kalau bukan dari uang sumbangan yang kamu tilep mbak Sur.”
“Saya dan suami menabungnya sudah dari dulu pak.”
“Mana buktinya. Laporan keuangannya saja tidak bisa menjelaskan kok”
Surtini tergagap dan rasanya ingin menangis. Dia masih mencoba meluruskan, bahwa dia tidak pernah menggunakan uang yang dipercayakan kepadanya untuk hal pribadi. Surtini mulai marah. Selama dia tidak pernah mendapat perlakuan yang semena-mena. Pak Kholil tidak pernah membentaknya apalagi menuduhnya melakukan penyelewengan.
Beberapa minggu kemudian diadakan forum terbuka bersama para donatur. Surtini datang membawa notaris dihadapan para donatur dan pengurus. Dia sengaja melakukan itu karena ingin membuktikan tidak ada yang boleh merendahkan dirinya dan keluarganya.
Surtini membawa bukti-bukti bahwa motor baru hasil dari kerja keras dia dan suami. Pemasukan surtini memang tidak tetap. Tapi Surtini paham bagaimana menginvestasikan uang dengan baik. Sebelum menikah, Surtini sudah mengumpulkan aset. Beberapa tabungannya dibelikan emas. Semua itu dia rahasiakan dari keluarga dan teman. Bahkan suaminya tidak mengetahui bahwa Surtini mempunyai aset senilai rumah di kota dan mobil mewah keluaran terbaru.
“Kamu dapat aset itu semua dari mana?” suaminya bertanya dengan penasaran
“Aku mengumpulkan sejak aku lulus SMA. Saat orang tuaku tidak mengijinkanku untuk kuliah, aku menyisihkan hasil kerja ku untuk ditabung emas. Aku menyimpannya di pegadaian. Karena aku pikir di bank tidak ada tabungan emas.”
Suami Surtini merasa lega walau juga masih was-was. Surtini bertekad meluruskan kesalahpahaman ini. Bahkan bila dia harus keluar dari organisasi dia akan menyelesaikan ini. Pak Kholil akan segera pulang dari pelatihan. Sebelum beliau datang, masalah ini harus selesai. Dia tidak ingin Pak Kholil melihat kekacauan ini karena dia.
Dalam forum itu Surtini menyadari akan banyak pro kontra. Mereka yang mengetahui Surtini akan membelanya dan yang dari awal tidak menyukainya pastilah mencari cara untuk menyalahkan Surtini. Bukan karena Surtini telah terbukti tidak menyalahgunakan kewenangan. Tetapi mereka memang hanya ingin menjatuhkan nama Surtini.
“Kalau memang saya harus berhenti, saya akan berhenti. Namun tidak dengan jiwa saya yang masih tetap ingin berjuang berbagi bersama di organisasi ini.”
“Saya paham, tidak mudah memegang amanah. Apalagi uang. Namun, saya bertekad tidak akan menggunakan uang umat untuk kepentingan pribadi saya. Kalau saya bisa memberi, saya akan memberikan apapun yang saya punya agar gerakan ini tetap berjalan. Saya tidak akan mencari penghidupan di gerakan ini. saya masih bisa menghasilkan di luar gerakan ini yang lebih besar. Saya tidak akan pernah merasa kekurangan. Kalau memang saya bersalah. Buktikan. Dan saya akan keluar dari organisasi ini. kalau saya yang benar. Saya mohon ijin untuk melaporkan mereka yang membuat nama saya hancur, di hadapan Tuhan saya.”
Para donatur dan pengurus organisasi yang awalnya ragu dengan Surtini mulai menciut dengan orasi Surtini. Mereka paham betul, Surtini bukan orang sembarangan. Banyak yang sudah membuktikan bila Surtini selalu benar disetiap ucapannya. Dia juga rajin beribadah dan selalu baik dengan rekannya. Kini mereka yang ada di pihak pak Dirjo dan pak Lem mulai goyah. Tidak berani melawan Surtini.
“Baiklah lah mbak Sur, kami percaya sampean tidak akan menyalahgunakan kewenangan dan kepercayaan yang diberikan. Kami akan menyelidiki siapa yang sebenarnya menggunakan kewenangan ini untuk kepentingan pribadinya.” Kata Pak Sulis, donatur tetap di organisasi menengahi pertikaian Surtini dengan Pak Dirjo.
Surtini berterima kasih kepada donatur yang masih mempercayainya. Dia berjanji akan melaporkan setiap pengeluaran dan pemasukan yang masuk dengan teliti. Surtini selalu mengingat petuah Gus Baha, “wong bener iku mesti ono salah e, opo meneh wong salah.” Dia akan berhati-hati dalam melangkah agar tidak salah jalan. Dan menyakini jalan yang ditempuh adalah jalan kebenaran. Dia berdoa untuk semoga diberi perlindungan dari setiap langkah yang akan diambil. Surtini yakin kebenaran akan selalu menemukan jalannya.