3 Kriteria Pemimpin
Oleh: Maulana Karim Shalikhin*
“Jika tiga orang keluar untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat satu dari mereka sebagai pemimpin rombongan” (HR. Abu Dawud).
Hadits ini begitu menghujam dada, lantaran, penulis baru menyadari bahwa, ungkapan ini hanyalah satu pemantik. Sedangkan efek domino filolofisnya bisa begitu panjang.
Maksudnya, begini, Nabi menyabdakan hal remeh temeh itu, agar ummatnya berfikir, jika rombongan saja harus ada pemimpin, apalagi sebuah komunitas, organisasi, negara dan seterusnya. Setelah itu, muncullah pertanyaan, Bagaimana pemimpin yang baik? Apa saja yang harus dimiliki pemimpin? Ini domino effect filosofis pertama.
Kemudian muncul lagi sub-pertanyaan, bagaimana jika bawahannya bengini begitu? Apa yang dilakukan pemimpin dalam kondisi ini dan itu? Dan akan anda sub-sub pertanyaan yang terus menyambung dari pertanyaan sebelumnya.
Sebenarnya Nabi Muhammad sudah menyertakan manual book dalam urusan leadership, misalnya “berikan amanah kepada yang ekspert di bidangnya”, “sebaik-baik pemimpin adalah yang dicintai dan mencintai kalian” dan seterusnya.
Dari hadits pertama saja sudah jelas bahwa, leader yang baik seharusnya memiliki tiga kriteria wajib yang tidak boleh ditawar, yaitu: personality (kepribadian), capability (sesanggupan) dan ability (kemampuan) (Wahjosumudjo, 1987).
Pertama, kepribadian. Kepribadian seperti halnya emanasi. Sifat-sifat leader akan luntur dan mewarnai secara dominan kultur organisasi.
Bagaimana wajah organisasi, biasanya sinkron dengan kepribadian leader. Apakah dia humble, demokratis, oportunis, agresif, diktator atau bahkan penjilat, sebagian besar (untuk tidak mengatakan semua) elemen organisasi akan tertular kepribadian leader.
Ke dua, kesanggupan atau kapabilitas. Kriteria ini juga very very important untuk dimiliki seorang leader. Dengan menyanggupi sebuah jabatan, maka seseorang seharusnya bisa bertanggungjawab dengan apa yang dibebankan kepadanya.
Ke tiga, kemampuan. Yaps! Kriteria terakhir ini ancap kali diabaikan oleh kebanyakan kita, warga plus 62. Orang orang dengan Ability nol, bisa jadi detempatkan di pos-pos penting, hanya dengan modal kedekatan emosional, ABS (asal bapak suka) dan retorika ‘menjual diri’ yang indah mempesona.
Bisa juga mereka kokoh dalam kepribadian, sanggup menerima jabatan dan memiliki kemampuan yang bagus di satu bidang. Hanya saja, tidak ditempatkan sesuai dengan kemampuannya. Misalnya, pengusaha dari keluarga kaya raya yang disuruh mengurusi pendidikan di Indonesia.
Banyak komunitas, organisasi, lembaga, instansi atau badan yang ada di negara kita, melalaikan posisi ability sebagai salah satu kerangka membangun organ yang kokoh. Hasilnya, orang-orang dengan kemampuan Omdo (omong doang) ditempatkan di lokasi yang membutuhkan kerja nyata, bukan sekadar retorika. Dengan demikian, tidak ada konektifitas antara ability yang dimiliki dengan jabatan yang diemban.
Endingnya, roda kepemimpinan melemah. Ditambah lagi, untuk terlihat keren dan berwibawa, orang-orang dengan ability rendah biasanya hanya bisa suruh ini-itu dan menyalahkan sana-sini tanpa bisa memberikan solusi.
Tentu pola semacam ini harus kita hindari. Sudah saatnya kita bangkit, era Ordal (orang dalam), Jastip (jasa titip) jabatan harus kita buang jauh-jauh demi terwujudnya Indonesia yang bukan hanya terlihat keren tapi juga memiliki nilai jual berkat kualitas bukan berkat provider Jastip.
*penulis merupakan Mudir di Ponpes Shofa Az Zahro Gembong-Pati