Iklan
Kolom

Puasa Kok Rebahan?

Oleh Hamidulloh Ibda*

Ketika ada rekan bertanya, puasa kok rebahan? Saya bilang, “ya orang rebahan itu banyak motif. Ada yang karena keshet (malas), sakit, atau sekadar istirahat melepas penat dan lelah”. Ya, beragam motif tersebut tentu banyak sekali perspektif kita sajikan agar kita tetap produktif di bulan Ramadan. Sebagai bagian dari Rukun Islam, puasa merupakan salah satu praktik ibadah yang penting dalam agama Islam. Namun sangat sia-sia jika seharian rebahan tanpa alasan.

Selama bulan Ramadan, umat muslim di seluruh dunia menjalankan puasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari sebagai bentuk pengorbanan, introspeksi, dan pengendalian diri. Namun, belakangan ini, muncul fenomena yang dikenal dengan istilah “puasa kok rebahan” yang menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat muslim. Tidak sedikit yang berpendapat bahwa puasa semacam ini tidak sesuai dengan makna sejati dari puasa itu sendiri.

Konten Terkait
Iklan

 

Puasa Kok Rebahan?

Puasa tapi rebahan merujuk pada praktik puasa seorang menghabiskan sebagian besar waktunya dengan berbaring atau rebahan, tanpa melakukan aktivitas fisik atau spiritual yang signifikan. Aktivitas utama mereka hanyalah tidur, menonton televisi, scroll WhatsApp, atau menghabiskan waktu di media sosial. Praktik ini sering kali dilakukan dengan alasan untuk menghindari lapar dan dahaga, tanpa benar-benar memahami tujuan dan makna dari puasa itu sendiri.

Rebahan merupakan istilah dalam bahasa Indonesia yang merujuk pada posisi tubuh seseorang yang berada dalam keadaan berbaring atau beristirahat dengan nyaman. Istilah ini sering digunakan untuk menyatakan aktivitas santai di mana seseorang berada dalam posisi berbaring, sering kali sambil menonton televisi, menggunakan ponsel, atau melakukan kegiatan lainnya yang tidak memerlukan banyak gerakan fisik.

Dalam konteks yang lebih luas, “rebahan” juga dapat merujuk pada gaya hidup atau pola perilaku di mana seseorang cenderung menghabiskan banyak waktu dengan berbaring atau beristirahat tanpa melakukan aktivitas yang produktif atau bermanfaat secara fisik maupun mental.

Penggunaan istilah “rebahan” dalam konteks “puasa kok rebahan” sering kali mengacu pada praktik puasa di mana seseorang hanya menahan diri dari makan dan minum, namun tidak melakukan aktivitas yang membawa manfaat spiritual atau menjalankan puasa dengan penuh kesadaran dan penghayatan. Praktik semacam ini kontroversial karena dianggap menyimpang dari esensi sejati puasa dalam agama Islam, yang seharusnya membawa manfaat spiritual dan meningkatkan kesadaran diri serta koneksi dengan Allah.

 

Mitos atau Kenyataan?

Puasa dan rebahan telah menjadi topik perdebatan di antara para ulama dan umat Islam. Di satu sisi, beberapa orang berpendapat bahwa asal mula puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan aktivitas lainnya yang dapat membatalkan puasa. Dengan demikian, secara teknis, tidak ada larangan untuk berbaring atau rebahan selama berpuasa, selama tidak ada tindakan yang membatalkan puasa.

Di sisi lain, banyak ulama dan cendekiawan Islam menekankan bahwa puasa tidak hanya tentang menahan diri dari makanan dan minuman. Puasa seharusnya menjadi kesempatan untuk meningkatkan kesadaran spiritual, introspeksi diri, kebaikan, dan koneksi dengan Allah. Dalam konteks ini, puasa kok rebahan dianggap sebagai pemahaman yang dangkal dan menyimpang dari esensi sejati puasa.

Puasa kok rebahan merupakan fenomena yang memicu perdebatan di kalangan umat Muslim. Meskipun secara teknis tidak ada larangan untuk berbaring atau rebahan selama berpuasa, namun praktik ini dinilai oleh sebagian besar ulama sebagai pemahaman yang dangkal dan menyimpang dari esensi sejati puasa. Sebagai ibadah yang memiliki dimensi spiritual, puasa seharusnya menjadi kesempatan untuk meningkatkan kesadaran diri dan koneksi dengan Allah, bukan sekadar menahan lapar dan haus. Oleh karena itu, penting bagi umat Muslim untuk memahami tujuan dan makna sejati dari puasa serta menjalankannya dengan penuh kesadaran dan penghayatan.

 

Puasa Harus Produktif

Puasa, dalam konteks agama Islam, bukan hanya sekadar menahan diri dari makanan dan minuman. Ia juga merupakan kesempatan untuk meningkatkan kesadaran spiritual, memperbaiki diri, dan berbuat kebaikan. Oleh karena itu, puasa seharusnya tidak hanya dilakukan secara mekanis atau pasif, tetapi juga produktif dalam berbagai aspek kehidupan. Penulis menawarkan beberapa alasan mengapa puasa harus produktif. Pertama, peningkatan kedisiplinan. Puasa yang produktif melibatkan disiplin yang tinggi dalam menjalankan ibadah dan mengendalikan hawa nafsu. Ini membantu seseorang menjadi lebih teratur dan bertanggung jawab dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Kedua, pengembangan kebaikan. Puasa yang produktif mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan baik dan bermanfaat bagi sesama. Ini bisa berupa memberi sedekah, membantu orang lain, atau berkontribusi dalam masyarakat. Ketiga, peningkatan produktivitas. Puasa tidak menghalangi seseorang untuk tetap produktif dalam aktivitas sehari-hari. Bahkan, banyak orang yang mengalami peningkatan produktivitas selama bulan Ramadan karena mereka lebih fokus dan bersemangat dalam mencapai tujuan mereka. Keempat, pembentukan kualitas individu. Puasa yang produktif membantu seseorang mengembangkan kualitas diri seperti kesabaran, pengendalian diri, rasa syukur, dan empati. Ini membantu dalam memperbaiki hubungan dengan diri sendiri dan dengan orang lain.

Kelima, peningkatan kesehatan spiritual dan fisik. Puasa yang produktif dapat memberikan manfaat kesehatan baik secara spiritual maupun fisik. Secara spiritual, puasa membantu membersihkan jiwa dari dosa dan keburukan. Secara fisik, puasa dapat memberikan istirahat bagi sistem pencernaan dan membersihkan tubuh dari racun. Keenam, peningkatan kualitas ibadah. Puasa yang produktif membawa seseorang lebih dekat kepada Allah. Selain menahan diri dari makan dan minum, seseorang juga diharapkan memperbanyak ibadah seperti salat, zikir, membaca Al-Qur’an, dan berdoa. Ketujuh, ben urip ono gunane. Ya, jika kita malah menjadi pemalas saat Ramadan, kethoke kok ra berguna blas.

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memahami bahwa puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga kesempatan untuk mencapai kedekatan dengan Allah dan meningkatkan kualitas kehidupan secara keseluruhan. Puasa yang produktif akan membawa manfaat yang jauh lebih besar bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan.

*Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., penulis lahir di Pati, 17 Juni. Saat ini menjadi dosen Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung, Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP. Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah 2018-2023, Kabid Media, Hukum, dan Humas Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah 2020-sekarang, aktif menjadi reviewer 17 jurnal internasional terindeks Scopus, reviewer 7 jurnal internasional, editor dan reviewer 25 jurnal nasional.

 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Konten Terkait

Lihat Juga
Close
Back to top button