Menjadi Guru untuk Diri Sendiri, Syukur-syukur Orang Lain
Oleh : M. Iqbal Dawami
Dulu, saya sering resah saat memberi ceramah, entah itu bentuknya khutbah jumat, idul fitri, idul adha, maupun kultum. Resah karena merasa tidak pantas menceramahi orang, sedang diri sendiri masih belangsakan. Tapi setelah mendapat nasihat dari dua orang guru, perasaan itu menjadi hilang. Guru pertama mengatakan bahwa penceramah sama halnya profesi lainnya. Ia tidak jauh beda dengan guru di sekolah, ustadz di pesantren, maupun penulis sekalipun.
Apa karena penulis, misalnya, tidak punya tanggung jawab seperti halnya penceramah? Ujar sang guru. Penulis juga dibebankan tanggung jawab atas apa yang ditulisnya. Karena notabene-nya sama saja dengan ceramah, yakni menyampaikan sesuatu kepada orang lain, cuma bedanya ini dalam bentuk tulisan, bukan tuturan. Hakikat tulisan sebenarnya ceramah dalam bentuk tulisan bukan lisan. Jadi, sama sekali tidak ada bedanya.
Kedua, menurut sang guru, seandainya bukan semacam aku maka kedudukan penceramah akan diisi oleh orang-orang yang kurang bermutu. Kasihan masyarakat tidak mendapatkan pencerahan dan pengetahuan yang memadai. Untuk hal ini sebenarnya aku kurang setuju dengan sang guru, karena masing-masing penceramah mempunyai gaya dan kemampuan yang berbeda. Sifatnya sungguh relatif.
Tapi, memang kita tidak menutup mata kalau ada tipe penceramah yang tidak “mencerdaskan”, malahan yang ada adalah provokasi terhadap sesuatu yang tidak sejalan/semazhab dengan si penceramahnya. Ini mungkin yang dimaksud sang guru, sehingga orang-orang yang berpendidikan dalam agama harus turun tangan. Jika tidak, maka akan diisi oleh orang-orang yang berperangai provokatif seperti itu.
Adapun guru kedua mengatakan bahwa salah satu jenis guru pencerahan adalah guru yang belajar menjadi penggembala domba. Artinya tidak harus tercerahkan dulu untuk memberi pencerahan. Jenis guru ini adalah membimbing dan membimbing. Setelah semuanya tercerahkan barulah dirinya mengikuti. Atau bisa jadi tercerahkan secara bersama-sama. Saya menangkap perkataan guru kedua ini adalah bahwa kita meniatkan diri kita mengajari orang adalah dengan belajar.
Ya, belajar dengan cara mengajar. Jadi, kita mengajar pada hakikatnya adalah belajar juga. Kalau dalam khutbah jumat kita mendengar, “Usikum wa iyyaya bitaqwallah—saya berwasiat kepada kalian dan kepadaku sendiri agar bertakwa kepada Allah,” itu artinya bahwa kita boleh menyampaikan pesan kepada orang lain karena sejatinya kita berpesan kepada diri sendiri juga.
Kedua guru itu memantapkan hati saya untuk memberikan ceramah kepada orang lain, baik itu khutbah jumat, idul fitri, idul adha, kultum, pengajian, atau pun ceramah lainnya. Kini saya tidak ada keraguan lagi untuk melakukannya, karena sejatinya saya sedang menceramahi diri sendiri juga, dan juga sedang belajar untuk menjadi pribadi yang baik. Simpel. Soal tanggung jawab, kita semua mempunyai tanggung jawab.
Apa pun profesinya. Semua yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, kelak di akhirat. Saya menyandarkan hal ini pada sabda Nabi Saw. “Setiap di antara kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan mempertanggungjawabkannya.” Ya, kita semua adalah pemimpin, karena kita adalah khalifah.
Mungkin bisa saja kita mengelak dengan mengatakan bahwa kita belum pantas menceramahi, mendidik, atau mengajari orang, karena berbagai alasan. Misalnya, karena ilmu kita yang masih dangkal, masih muda, masih belum menjadi muslim yang baik, dan seabrek dalih lainnya. Tapi, itu bukan alasan yang logis. Dengan prinsip dasar yang telah dikemukakan di atas bahwa masing-masing di antara kita semua adalah guru, belajar dari orang lain dan mengajar kepada orang lain.
Mungkin hadis nabi ini akan menjelaskan bahwa kita sebenarnya dituntut untuk saling memberi pengetahuan, “Ballighu anni walau ayatan—sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” Dari sabda Nabi tersebut kita telah diberi legitimasi perihal mengajarkan sesuatu kepada orang lain. Pengetahuan adalah sesuatu hal penting karena dapat membantu orang lain dari yang tadinya tidak tahu akhirnya menjadi tahu. Maka tidak aneh apabila ada yang mengatakan Knowledge is power—pengetahuan adalah kekuatan.
Jadi, orang yang sudah mengajarkan sesuatu kepada orang lain sejatinya ia sedang mengamalkan hadis nabi di atas. Ketika kita memberi ceramah bukan berarti mau sok-sokan, sok tahu, dan sok pintar, tetapi memang Nabi menyuruh kita untuk menyampaikan pengetahuan yang kita dapat. Bahkan orang yang tahu sebenarnya wajib menyampaikan kepada yang belum tahu, selain mengamalkannya atas apa yang disampaikannya. Di sinilah fungsinya orang yang berpengetahuan, tidak saja untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain. Karena dengan begitu ilmu pengetahuan yang didapatkannya benar-benar bermanfaat dan berkah, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Saya teringat dengan perkataan Imam Ali bin Abi Thalib yang mengatakan, “Unzur ma qala wa la tanzur man qala—lihatlah apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan.” Perkataan Imam Ali tersebut menekankan kepada obyek bukan subyek. Secara tidak langsung kata mutiara itu agar kita menghindari egoisme diri. Kita harus welcome dengan siapa saja yang menyampaikan suatu kebaikan. Gengsi harus dihindari. Toh manfaatnya untuk diri sendiri juga. So, jangan sampai keegoan kita dikalahkan oleh nilai-nilai kebenaran yang disampaikan orang lain, siapa pun itu.
Maka, di sinilah pentingnya mendengar. Orang yang mau mendengar adalah pintu gerbang menuju pencerahan. Tentu saja mendengarkan perkataan-perkataan yang baik, bukan yang buruk. Allah berfirman: Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal (QS. Az-Zumar: 18).
Sangat jelas, orang yang disebut berakal ialah yang mau mendengar perkataan baik orang lain dan lalu mengamalkannya. Inilah landasan normatif yang dibuat oleh Allah agar kita mau belajar dan mengajar kepada orang lain. Mendengar adalah wasilah untuk belajar kepada orang lain dimana kemudian hasilnya harus kita ajarkan kepada orang lain lagi. Begitulah hukum alam (Sunnatullah) yang dibuat Allah untuk kemaslahatan manusia dan alam semesta ini.
Telinga adalah alat kita untuk mendengar. Allah menciptakan dua telinga, sedang mulut sebagai alat wicara, diciptakan hanya satu. Mungkin itu sebagai petanda bahwa kita harus banyak mendengar ketimbang bicara. Dengan mendengar kita akan lebih banyak menyerap informasi, sedang dengan bicara kita hanya sedikit menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Bahkan, kita dapat menyampaikan pengetahuan sesuatu kebanyakan berdasarkan pendengaran (di samping penglihatan).
Oleh karena itu tidak aneh apabila Allah menyebut telinga lebih dulu dari yang lainnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Isra: 36). []