Ada Apa Dengan Tawasul
Apa itu tawasul dan ada apa dengan tawasul? Sehingga tradisi tawasul yang mendarah daging bagi nahdliyin ini kerap dicap sebagai syirik oleh sebagian pihak. Simak opini dan penjelasan K. Ahmad Suja’i, berikut ini.
Salah satu hobi kaum sarungan (santri) adalah ziarah ke para Aulia baik yang masih sugeng maupun yang sudah wafat, inilah salah satu hobi yang oleh sebagian kalangan sering dicap penyebab syirik utama. Kaum sarungan menziarahi para aulia yang mereka sebut dengan istilah “tawassul” penulis pada mulanya tidak mudeng, mengapa tradisi semacam ini selalu dan selalu dilakukan oleh para santri tradisionalis tanpa adanya larangan dari para masyayikh.
Dalam sebuah kamus, penulis mencoba untuk mengurainya, bahwa tawassul identik dengan tawajjuh, isti’anah, istighatsah atau istisyfa’
Tentang difinisi ( ta’rif ) tawassul, al-Imam Hafidz al’Abdari, dalam Syarh al-Qowwim, hal.378, penulis menemukan teks sebagai berikut :
طلب حصول منفعة أو اندفع مضرة من الله بذكر اسم نبي أو ولي إكراما للمتوسل به
Tawassul adalah:”Memohon keberhasilan manfaat atau terhindarnya bahaya dari Allah dengan menyebut asma seorang nabi atau wali, untuk memulyakan keduanya”
Timbul pertanyaan haruskah Allah, hanya untuk mengabulkan permohonan hambanya memerlukan jasa seorang calo ?
Dari seorang Kiai yang penulis hormati, memberikan sedikit pencerahan tentang jawaban dari pertanyaan tersebut. Bahwa; Hukum dunia menetapi hukum kausalitas (sebab akibat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Berhak untuk memasukkan hambanya ke syurga walaupun tanpa sebiji amal kebaikanpun atau sebaliknya Allah Maha Berhak memasukkan hambaNya ke neraka tanpa sebiji dosapun.
Tetapi kenapa kita harus beramal shalih untuk menggapai syurga?
Nah, kedudukan amal shalih di sini adalah al wasilah (media).
Selanjutnya Mbah Kiai tersebut menyarankan untuk merenungkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 45, sebagai berikut :
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”
Lalu pernahkah Allah menyarankan kita untuk berwasilah ?
Seorang teman santri mencoba mengutarakan surat Al-Maidah ayat 35
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ
” Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya”
Simpulannya bahwa untuk bertaqwa kepada Allah kita masih perlu melewati jalan-jalan tertentu, jadi tidak bisa langsung kepada Allah.
“Jadi ini termasuk wasilah, Kang?” tanya penulis
Logikanya bagaimana ?
Allah bisa menyembuhkan seseorang tanpa perlu bantuan seorang dokter. Allah bisa membakar rumah kita tanpa bantuan api. Allah bisa membuat hambaNya kaya raya tanpa bantuan bank yang memberi kredit. Allah bisa membuat kita pandai sepandai-pandainya tanpa kita nongkrong dulu di sekolah-sekolah atau kampus-kampus. Atau bahkan Allah bisa membuat kita kenyang tanpa kita menyantap sepiring nasi. Dan masih banyak contoh yang lain.
Nah, dokter adalah wasilah dalam hal Allah memberikan kesehatan, api adalah adalah wasilah terbakarnya rumah kita, kredit dari bank adalah wasilah kita untuk menjadi kaya setelah berbisnis, sekolah dan kampus adalah wasilah untuk kita menjadi cendekia.
Jadi yang menyembuhkan adalah Allah, dokter adalah wasilah. Yang membakar adalah Allah, api hanyalah wasilah. Yang membuat kita kaya adalah Allah sedangkan kredit bank hanyalah wasilah. Yang membuat kita pandai adalah Allah sedangkan sekolah dan kampus hanyalah wasilah. Yang membuat kenyang adalah Allah sedangkan sepiring nasi hanyalah wasilah.
Begitu,………..!
Kenyataannya banyak yang berkeyakinan bahwa; makam aulia yang mereka tawasuli adalah yang memberi, bukan Allah Sang Maha Pemberi. Seperti misalnya seorang bertawasul dengan anggapan bahwa obyek tawasul tersebut bisa mengabulkan apa yang dipintanya. Bukankah ini syirik yang nyata?
Mbah Kiyai menjawab sekenanya tetapi dengan logika yang klop;
Memang betul, syirik yang nyata. Sama halnya dengan orang yang berobat ke dokter dengan keyakinan dokterlah sang maha penyembuh, atau orang yang menghamba kepada atasan dengan anggapan atasannyalah sang maha pemberi rizki, atau banyak lagi contohnya.
Tentang tawassul pernahkah Nabi mengajarkan kepada kita ?
Dalam suatu hadits dan hadits ini nyata shohihnya, Nabi pernah mengajarkan kepada seorang buta dengan doa sebagai berikut :
اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضى لي
“Ya Allah aku memohon dan memanjatkan doa kepada-Mu, dengan Nabi kami Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku dengan engkau, berkaitan dengan hajatku agar dikabulkan kepadaku”
Banyak muhaditsin yang menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka, seperti Imam Ahmad, at-Turmudzi dan beliau berdua menilai hadits ini hasan shahih.
Hal itu kan terjadi ketika Nabi masih sugeng, kalau sudah wafat bagaimana? sanggah penulis yamg dihantui rasa penasaran.
Dengan tanpa sengaja teka- teki tersebut terjawab oleh seorang santri senior yang sedang mentadris kitabnya. Di sana dijelaskan ketika masa pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khaththab, terjadi musim paceklik, sahabat Bilal bin Harits al-Muzani RA. mempunyai inisiatif mendatangi makam rasulullah dan berdoa sebagai berikut:
يا رسول الله استسق لامتك فإنهم قد هلكوا
“Hai, Rasulallah, siramilah untuk ummatmu, karena sesungguhnya mereka sungguh telah kerusakan”
Nah,… sampai di sini penulis tidak berani melabelkan “Ahl as-syirik” atas sahabat Bilal RA. yang tidak ada sekuku hitamnya bila dibandingkan dengan para orang-orang yang suka menjuluki sesama saudaranya dengan dengan label “Ahl as-syirik”
Wallahu A’lamu……