Transformasi Suara Mercon

Oleh: Maulana Karim Sholikhin*
Dulu, sekitar dua puluh tahun lalu, sebelum PUBG dan sejenisnya menyerang, pagi Bulan Ramadhan terasa anggun dan hangat. Anak-anak berjamaah subuh kemudian membuat sebuah agenda tour pagi. Berkelompok mengelilingi desa dengan berjalan kaki.
Tim borjuis pun demikian, bedanya mereka berkeliling menggunakan sepeda dengan dua shock depan dan shifter gear. Tak ada satupun anak yang tak tergelitik untuk mengeksplore udara pagi Bulan Ramadhan.
Letupan mercon memekik bersahutan, udara dingin derap Langkah bocil terdengar setiap detik setidaknya hingga pukul 06.30 pagi. Mereka bercengkrama ria seputar dunianya, membahas hal-hal yang tidak dibahas bapak-bapak. Sesekali terdengar suara lemparan sandal mengenai mangga muda milik tetangga.
Hanya saja, Ramadhan akhir-akhir ini, terasa berbeda. Letupan mercon berkurang intensitasnya, bahkan di beberapa pagi nyaris tidak ada. Suara Langkah kaki dan bincang santai anak-anak di sepanjang jalan kampung tak pernah terdengar lagi.
Semua berganti, dalam sekejap.
“double kill! Savage!,” Suara mercon telah berubah seiring perkembangan zaman. Dubber game menjadi subtitutor yang siap memasuki lapangan dengan birahi maksimal.
Rupanya, generasi mercon krisis penerus. Anak-anak kekinian tak peduli dengan itu semua. Mereka berinteraksi satu sama lain namun lewat maya.
Puasa gadget! Yah, itulah yang sebenarnya ingin penulis sampaikan. Kerakusan manusia akan ‘setan tipis’ satu sisi membinasakan mercon (sesuai anjuran Polisi) namun di sisi lain, mereka juga membunuh kehangatan. Dalam ranah universal, candu gadget juga menjadi pelaku utama matinya intuisi sosial.
*Penulis adalah Mudir Ponpes Shofa Az Zahro’ dan MI Hidayatul Islam Gembong-Pati