Bahasan Suluk Maleman Kali ini yaitu Merekontruksi Empat Saka Guru Bangsa
- account_circle admin
- calendar_month 2 jam yang lalu
- visibility 6.084
- comment 0 komentar

Keterangan foto: Anis Sholeh Ba’asyin dalam NgAllah Suluk Maleman “Robohnya Saka Guru Rumah Kami” yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia, Sabtu (20/12)
Konstruksi rumah joglo yang baku punya ciri khas yakni ditopang empat tiang utama, yang disebut saka guru. Menurut Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman, kontruksi rumah tradisional Jawa ini memuat pesan simbolik dari peradaban muslim Jawa yang seharusnya dicermati bersama.
Hal menarik itu diungkapkan oleh Anis saat membuka Suluk Maleman yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia pada Sabtu (20/12) malam. Forum ngaji bulanan yang diselenggarakan berkat kerja sama dengan Indonesia Kaya tersebut, malam itu memang mengusung tema ‘Robohnya Saka Guru Rumah Kami’.
Secara denotatif, kosa kata rumah diserap dari khasanah bahasa Proto-Austronesia rumaq, yang artinya tempat bernaung atau tempat berlindung. Kehadiran empat saka guru di sini adalah menjadi penyangga utama atap dan bagian lain rumah yang berfungsi menaungi dan melindungi seisi rumah.
Namun, menurut Anis, rumah juga bisa dibaca dalam pengertian luas lewat makna konotatifnya, yakni sebagai konstruksi bangunan sosial. Lewat pembacaan ini, kehadiran empat saka guru adalah sebagai penopang utama tatanan masyarakat. Tatanan yang berfungsi menaungi dan melindungi seluruh anggotanya.
Budayawan asal Pati tersebut kemudian mencoba melacak makna simbolis empat saka guru dengan menghubungkannya dengan ungkapan terkenal yang dinisbahkan kepada Imam Ghazali.
“Ungkapan Imam Ghazali yang juga populer dalam versi bahasa Jawa tersebut menegaskan bahwa kokohnya kehidupan dunia ditopang empat hal, yaitu ilmunya ulama, keadilan para pemimpin, kedermawanan orang-orang kaya, dan doanya orang-orang fakir,” jelasnya.
Dari perspektif ini, Anis meyakini bahwa ada pesan sangat penting yang dititipkan oleh para pembangun peradaban muslim Jawa lewat rumah joglo, yakni tatanan masyarakat yang kokoh hanya akan terbentuk bila empat penyangga utamanya hadir dengan kokoh pula. Rapuhnya satu atau lebih tiang ini akan membuat rumah terancam roboh.
“Kenapa ilmu dari orang berilmu justru disebut pertama?”
Pertanyaan retoris ini dijawab sendiri oleh Anis. Menurutnya ini menandakan bahwa tatanan masyarakat sejak awal harus dibangun, dijaga dan dirawat dengan ilmu ulama. Dalam hal ini, kuasa ilmu diposisikan lebih tinggi dari kuasa politik. Dia kemudian menggaris-bawahi bahwa pengertian ulama bukan hanya merujuk pada ilmuwan tentang agama, tapi juga merangkum semua bentuk keilmuan.
Anis lantas merujuk pada fenomena yang pernah disebut oleh Tom Nichols sebagai The Death of Expertise, matinya kepakaran. Di era modern, fenomena yang bermula dari maraknya media sosial, tapi semakin ke sini semakin dimanfaatkan sebagai bagian dari rekayasa kekuasaan ini; telah menyingkirkan peran ilmu para ulama dan menggantinya dengan narasi-narasi dungu yang diproduksi oleh orang-orang dungu.
Nah, karena tiang pertama tersingkir, tiga tiang lainnya menjadi sangat sulit ditegakkan. Tentang adil misalnya. Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Lawannya dzolim yakni menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Untuk mengetahui sesuatu ada pada tempatnya atau tidak jelas hanya bisa lewat jalan ilmu. Tanpa kehadiran ilmu para ulama, batas adil dan dzolim menjadi kabur, tak punya kejelasan.
Sebagai akibatnya, pemimpin sulit menerapkan keadilan, dan menjadi rentan dikendalikan oleh kepentingan. Baik kepentingannya sendiri, kepentingan kekuasaan global mau pun kepentingan kekuatan ekonomi dominan yang kita sebut oligarki.
Demikian juga yang akan terjadi dengan tiang ketiga, yakni kehadiran orang-orang kaya yang pasti akan semakin cenderung menggunakan kekayaannya untuk memperkuat posisinya sendiri.
“Seperti fakta yang juga terjadi secara global, sebagian besar kekayaan kita juga dikuasai sebagian kecil orang. Sementara sebagian besar lainnya justru harus berebut porsi kecil tersisa,” imbuh dia.
Kekayaan tidak dipakai untuk menyebar kemakmuran, tapi justru digunakan untuk mengendalikan kekuasaan. Anis kemudian memberi contoh bahwa salah satu langkah awal pergerakan untuk meraih kemerdekaan justru muncul dari lahirnya Serikat Dagang Islam. Kehadiran para saudagar muslim waktu itu justru menjadi penggerak dan pendukung langkah perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan.
Ketika ketiga tiang ini sudah tidak berdiri sebagaimana mestinya, tiang keempat pun sulit ditegakkan. Para faqir bukannya menjadi tiang ke empat, tapi menjadi korbannya.
“Dari perspektif ini, kita melihat bahwa kondisi bangsa kita khususnya dan dunia umumnya, sedang tidak baik-baik saja. Empat saka guru tidak pernah benar-benar eksis, yang hadir hanyalah tiruan artifisialnya. Karena saka gurunya artifisial, maka rumah yang dibangun pun tidak pernah benar-benar nyata, hanya ilusi tentan rumah yang sengaja diciptakan,” tegas Anis.
“Ini yang menjelaskan mengapa dunia kita selalu dalam situasi konflik tanpa henti, diadu domba satu dengan yang lain. Dengan terus menerus menghadapi konflik, kita lupa bahwa sebenarnya kita berada di rumah ilusi. Rumah yang tidak benar-benar menaungi dan melindungi kita.”
Menurut Anis, tak ada cara tunggal untuk menegakkan kembali empat saka guru rumah kebangsaan kita. Sebagai rakyat biasa yang awam, yang bisa kita lakukan adalah dengan mulai menegakkannya dalam lingkungan kecil masing-masing kita. Salah satunya dengan mulai menata akhlak.
“Akhlak adalah hasil dari latihan terus menerus hingga melekat. Akhlak adalah dasar lahirnya adab. Dari sini terbangun peradaban,” jelas Anis.
Meski suasana hujan, namun ratusan orang tampak antusias menyimak Suluk Maleman edisi ke 168 tersebut. Baik yang hadir langsung mau pun mengikutinya melalui berbagai platform media sosial.
Suasana pengajian terasa kian hangat, karena iringan musik dari Sampak GusUran dan hadroh Syubbanul Muttaqin di sela-selanya.
Keterangan foto: Anis Sholeh Ba’asyin dalam NgAllah Suluk Maleman “Robohnya Saka Guru Rumah Kami” yang digelar di Rumah Adab Indonesia Mulia, Sabtu (20/12)
- Penulis: admin

Saat ini belum ada komentar