Risalah Ahlussunah Wal Jama’ah
Mencermati kitab Risalah Ahlissunnah wal Jamaah karya Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari, kita akan mengetahui bahwa penulisannya dilatarbelakangi oleh munculnya gerakan modernisme Islam di Indonesia. Menurut Andrée Feillard (2009:6) kaum modernis membentuk organisasi yang dikenal seperti Muhammadiyyah (1912), Al-Irsyad (1915), dan Persatuan Islam (1923). Gerakan ini menurutnya adalah gerakan kedua yang harus dihadapi kaum muslimin Ahlussunnah wal Jamaah setelah gerakan puritanisme di Sumatera Barat yang ditandai dengan pertentangan kaum Paderi di satu sisi dan kaum sufi adat di sisi lain. Gerakan ini menurut catatan Andrée Feillard dalam bukunya NU vis-à-vis Negara adalah gerakan kedua yang harus dihadapi kaum muslimin Ahlussunnah wal Jamaah setelah gerakan puritanisme di Sumatera Barat yang ditandai dengan pertentangan kaum Paderi di satu sisi dan kaum sufi adat di sisi lain. Kitab Risalah Ahlissunnah wal Jamaah ini adalah suatu bentuk usaha intelektual dalam mempertahankan Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia yang dilakukan oleh Hadratussyekh. Pada perkembangan berikutnya, perdebatan yang kian meruncing ini kemudian diupayakan penyatuannya oleh Kiai Hasyim Asy’ari pada tahun 1930 di dalam sebuah ceramahnya yang ditulis dengan judul “al-Mawaidh” (wejangan-wejangan). Apa yang disebutkan terakhir ini kemudian dicatat para pengamat seperti Martin van Bruinnesen sebagai bentuk sikap nasionalisme sang kiai. Para pemuka kaum muslimin dari berbagai mazhab dan organisasi mengamininya dalam wujud pembentukan organisasi konfederasi Islam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937 M