Satu Banding Dua

Oleh: Jamal Ma’mur Asmani
Dalam kajian ushul fiqh ada bab naskh (revisi atau amandemen hukum). Naskh adalah menghilangkan hukum lama dengan hukum baru dengan dasar dalil. Naskh hanya ada pada era Nabi. Pasca Nabi tidak lagi ada naskh, namun jika hukum tidak berlaku itu karena konteks yang belum mendukung. Sebab naskh ini adalah karena hukum Islam hadir untuk mewujudkan kemaslahatan substansial. Kemaslahatan yang berdasarkan kebiasaan dan interaksi sosial ekonomi selalu berubah sehingga hukum Islam harus menyesuaikan diri secara tepat.
Salah satu contohnya adalah kualitas umat Islam dengan nonmuslim pada ayat pertama adalah satu banding sepuluh. Kemudian diubah menjadi satu banding dua karena melihat ada penurunan kualitas (dla’f). Hal ini dijelaskan dalam Q.S. Al-Anfaal 65-66:
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. (QS. 8:65)
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. 8:66)
Kualitas Menjadi Prioritas
Contoh di atas menunjukkan bahwa kualitas umat Islam harus di atas nonmuslim. Standar minimal adalah satu banding dua. Jika bisa mencapai kualitas tinggi, yaitu satu banding sepuluh, tentu lebih baik. Namun kualitas satu banding dua tidak boleh ditawar-tawar lagi.
Sifat yang digambarkan dalam al-Qur’an di atas adalah dla’f (lemah). Prof. M. Quraish Shihab menjelaskan makna dla’f adalah kelemahan pada aspek spiritual, keimanan, dan sifat-sifat terpuji, seperti ketepatan pendapat, ketabahan, keberanian dan lainnya yang mengantarkan kepada kemenangan.
Kelemahan di sini bukan pada kelengkapan dan jumlah personel umat Islam. Satu banding sepuluh digambarkan dengan potret umat Islam sedikit yang terlatih baik, bermental baja, serta menguasai medan dan siasat perang sehingga mampu mengalahkan kelompok musuh yang besar. Sedangkan satu banding dua digambarkan ketika ada hal-hal yang melemahkan mental umat Islam. Jadi ini sifatnya dispensasi (Shihab, 2021:4:599-601).
Meskipun satu banding dua, tapi tetap saja, kualitas umat Islam harus lebih baik dari nonmuslim sehingga ketika terjadi kompetisi atau agresi, umat Islam tampil sebagai pemenang (winner).
Nabi Muhammad memotivasi umat Islam untuk menjadi orang yang kuat dalam sabdanya: orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah. Namun semuanya baik. Proaktiflah melakukan sesuatu yang membawa manfaat kepada kamu, mohonlah pertolongan Allah dan jangan lemah (H.R. Muslim).
Imam Ali Ash-Shabuni menjelaskan kata kuat dalam hadis di atas mencakup semua aspek, seperti fisik, mental, ilmu, dan iman. Orang mukmin yang kuat imannya, akidahnya, ilmunya dan fisiknya lebih baik dari mukmin yang lemah (Ash-Shabuni, 1970:41).
Dalam konteks sekarang, kekuatan dilihat dari semua aspek, khususnya ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, dan politik internasional. Orang mukmin yang kaya dan berilmu mampu memberikan manfaat yang besar kepada orang lain dalam skala luas dari orang mukmin yang miskin dan bodoh.
Hal ini sesuai kaidah ‘al-muta’addi afdlalu minal qashir’, orang yang manfaatnya untuk orang lain lebih utama dari orang yang manfaatnya terbatas pada dirinya sendiri. Nabi Muhammad menjelaskan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain.
Penjelasan ini mendorong umat Islam untuk memprioritaskan kualitas dari sekedar kuantitas. Kuantitas yang tidak diimbangi dengan kualitas tidak banyak bermanfaat bagi kehidupan. Kuantitas yang diimbangi dengan kualitas akan menjadi kekuatan besar yang efektif dalam menggerakkan transformasi sosial. Peran besar umat Islam bergantung kepada kualitas yang dimilikinya. Jika kualitas umat Islam tinggi, maka pasti mampu menjadi aktor yang menghasilkan ilmu dan teknologi, membangkitkan perekonomian, dan menyatukan politik global.
Namun jika kualitasnya rendah, maka hanya menjadi bahan tertawaan pihak lain. Bukti adalah hujjah balighah (petunjuk empiris-obyektif) yang tidak terbantahkan dari sekedar retorika yang tidak berwibawa.
Umat Islam Indonesia
Dalam konteks ini, umat Islam Indonesia yang menjadi umat Islam terbesar dunia harus meningkatkan kualitasnya sehingga menjadi mampu menjadi umat dengan kualitas terbaik yang mampu menggerakkan transformasi kehidupan sosial yang adil dan bertabat.
Transformasi sosial umat Islam harus bertumpu kepada tujuan umum syariah Islam (maqashid al-syari’ah) yang jumlahnya lima: menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Maka kualitas umat Islam harus terdepan dalam bidang spiritualitas, kesehatan, militer, pendidikan, media, ekonomi dan pembentukan keluarga yang berkualitas tinggi. Jika tidak, maka umat Islam hanya menjadi penonton pasif dalam bidang-bidang krusial di atas.
Jika ini menjadi kenyataan, maka cita-cita agung terwujudnya ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur’, Negara yang makmur dalam naungan ampunan Tuhan, hanya mimpi di siang bolong. Wallahu A’lam Bish Shawab.
*Peminat Kajian Keislaman