Putaran Pertama

Oleh : Iva Azhariyah
Saya sering bepergian menggunakan transportasi umum. Bus, kereta, atau travel. Bagi saya, menatap jalan dan lorong yang terlewati seolah memberi sudut pandang baru dalam hidup yang seringkali saya tawar pada Tuhan. Menatap orang-orang berjalan, anak-anak pulang dengan baju putih, sudah kecoklatan, orang-orang mengangkat beban, mendorong kendaraan, atau kelelahan hingga ketiduran di jalanan.
Sekali waktu ada seorang lelaki duduk di bangku ketiga pada bus malam. Saya baru masuk beberapa langkah dan bus terasa penuh lantaran itu adalah waktu para pekerja berangkat untuk melakukan pekerjaan. Pukul dua dini hari, saya duduk di bangku paling depan. Sensasi menyeramkan yang bisa dirasakan hanya jika menggunakan bus malam. Barangkali karena jalanan sedang sepi-sepinya, sopir bus mengemudikan bus secara totalitas (baca: sedikit ugal-ugalan tapi sudah biasa).
Seorang pegawai bus menghampiri saya. Mengatakan jika tarifnya tiga puluh lima ribu rupiah karena perjalanan ke Semarang akan cukup memutar. Jalur yang biasa kutempuh dilanda banjir sedalam dua meter, cukup untuk membuat tenggelam karena tinggi genangan air lebih tinggi dibanding saya.
“Nggeh, Pak. Mboten nopo-nopo”,
Saya memberikan empat puluh ribu. Tapi kembaliannya terlalu banyak. Saya menoleh ke belakang dan kedepan. Saat ketiga kalinya menoleh ke belakang, seorang lelaki setengah tua melambaikan tangannya seolah berkata,
“Sini aja, Nduk.”
Tanpa pikir panjang saya pindah ke belakang karena akan menakutkan duduk di bangku depan yang langsung memperlihatkan jalan dan cara supir bus mengemudikan kendaraan. Saya duduk di sebelahnya dan menyapa lantas sedikit basa-basi. Saya menceritakan uang kembalian yang terlalu banyak jumlah yang berujung dia memanggil lagi pegawai bus itu.
Bapak disamping saya kemudian menceritakan banyak hal perihal kehidupan, menceritakan anak dan istri seperti umumnya orang tua, menceritakan perjalanan hidupnya merantau dari satu kota ke kota lainnya, menceritakan kisah hidupnya berjuang untuk menyandang gelar sarjana, menceritakan pulang perginya melalui jalan pantura, dan dari seluruh ceritanya, ada satu kalimat yang paling kuingat.
“Kesempatan dalam hidup itu seperti sekali kayuhan roda sepeda; satu putaran.”
Mengayuh pedal sepeda, kumaknai sebagai awal pilihan untuk meneruskan apakah kayuhan itu akan rampung penuh atau rumpang tak lengkap. Kayuhan itu adalah dorongan awal yang akan menentukan seberapa laju putaran roda. Seperti halnya kesempatan hidup; kuat dan lambatnya sesuai dengan dorongan pertama yang berarti keyakinan dalam memilih kesempatan. Makanya, beberapa orang mengatakan “Takdir itu Pilihan” alih-alih “Hidup itu Pilihan”. Karena takdir pada ujungnya adalah serangkaian dari kesempatan demi kesempatan yang kita pilih. Satu putaran demi satu putaran yang menggerakkan roda sepeda dengan kecepatan yang berirama.
Satu putaran yang kita yakini seyogyanya adalah satu putaran yang bermakna. Satu putaran yang akan mengantar kita pada putaran-putaran selanjutnya. Putaran kehidupan.
*Iva Azhariyah, Lahir di Pati, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia. Gemar buku, musik, dan film. Senang berkelana, mencintai semesta. Akun media social @ivaazhariyah.