Pakaian Terbaik Era 4.0
Oleh : Maulana Karim Shalihin*
Tren busana muslim di Indonesia akhir akhir ini memang sedang hangat-hangatnya. Khusus dalam urusan pakaian muslimah, peminatnya membludak hebat. Menurut asumsi Penulis, demam baju muslim ini bukan hanya urusan menjalankan syariat, tapi juga fesyen dan gaya hidup.
Saking hebohnya jagat per-fesyen-an muslimah saat ini, hampir seluruh Ibu muda Nusantara memiliki toko busana berbasis online, meskipun hanya berstatus reseller. Setidaknya argumen ini memiliki dasar rasional.
Penulis diam-diam melakukan riset kecil-kecilan. Dari lima puluh kontak wanita (sebagian Ibu muda dan sebagian perawan ting-ting) yang aktif di WA, sekitar tiga puluhan lebih, pernah memposting dagangan busana muslimah. Sementara sepuluh diantaranya merupakan pedagang aktif. Tidak stop di situ saja, para papa muda juga tak mau ketinggalan soal posting-memposting busana muslimah ini.
Melihat fakta ini, plus jumlah warga muslim dan antusiasme masyarakat Indonesia khususnya kaum hawa soal fesyen, penulis haqqul yaqin, Indonesia akan memimpin tren busana muslim dunia. Setidaknya kaum ibu memiliki peluang mengharumkan nama bangsa di sektor ini.
Tidak ada angin tidak ada hujan, Sandiaga Salahuddin Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, juga punya firasat sama. Menurutnya, nilai eksport fesyen Indonesia mencapai 15 juta dolar AS, dan sebagian besar di dominasi oleh fesyen muslimah. Sama seperti Penulis, Sandiaga menilai, industri pakaian muslimah Indonesia sangat memiliki masa depan indah kelak.
Jilbab dan Pandangan Masyarakat
Seperti hipotesa awal, antusiasme terhadap pakaian yang disebut syar’i ini tidak semata soal syariat, namun lebih pada semacam gaya hidup. Potensi agama harus rela berbagi poin dengan potensi lifestyle. Maka dari itu, sejak awal, Penulis memang rada skeptis soal tren hijab.
Meski pandangan ini banyak bertolak belakang dengan generasi hijrah yang mengiringi laju ekspres busana muslimah, tapi penulis memiliki alasan lain untuk tidak ‘beriman’ seratus persen terhadap ‘dimensi ketuhanan’ dalam perkembangan tren baju syar’i yang begitu moncernya.
Pada 2014, penulis pernah menulis esai yang hampir mirip dengan pembahasan kali ini. Masih ingat betul quote andalan penulis saat itu, bahwa kesalahan memilih pakaian hanyalah dosa fesyen, tapi kesalahan memaknai pakaian bisa menjadi–dalam istilah Gus Mus–dosa sosial.
Sebelum secara serius membahas ini, penulis ingin mengawalinya dengan cerita ringan. Kisah nyata ini dialami Ibunda Penulis ketika masih mondok kurang lebih tahun 1988-an. Pada saat itu tren busana muslimah tidak se booming sekarang. Bahkan Jilbab dianggap tabu oleh sebagian masyarakat.
Singkat cerita, anak laki-laki Sang Kiai yang masih berusia lima tahunan, ngotot, sampai-sampai marah tak terkendali karena minta diantarkan ke pasar malam. Namun karena kesibukan dan status sebagai Kyai-Bu Nyai, kedua orang tuanya ogah pergi ke tempat hiburan tersebut. Akhirnya, sebagai santri ndalem, ibunda penulis bersama tiga orang temannya mau tak mau harus mengantarkan si Gus kecil tersebut ke pasar malam dengan protokol ketat dari Bu Nyai.
Setibanya di lokasi, mereka menjadi pusat perhatian publik. Bukan sebab kecantikannya, namun karena fesyen mereka bisa dibilang aneh bahkan cupu pada masanya. kerudung ala kadar, gamis yang berhenti di atas lutut dan bawahan rok dari kain sarung yang menutupi kaki mereka menjadi hidangan hambar namun lezat untuk di bully kaum ‘modern’ kala itu. Seisi pasar malam mendadak seperti kritikus fesyen internasional.
Ibunda penulis mengaku seperti berjalan diatas duri yang menyuntikkan racun hujatan. Tapi apa daya, mereka hanya mampu menahan malu sambil menuruti kemauan Si Gus yang tak kunjung mau pulang.
Ketika Ibunda penulis menceritakan hal konyol ini dengan penuh canda, penulis justru gelisah karena penulis mencoba menyandingkan kisah tersebut dengan kenyataan yang terhampar sekarang. Kalau dulu, santri dengan outfit nya dianggap kuper (kurang pergaulan), bukan suatu masalah karena mungkin SDM dan tingkat pendidikan masyarakat masih rendah serta faktor budaya. Jadi wajar saja orang menilai orang lain dari kostumnya. Hanya saja, mengapa di era 4.0 ini kebiasaan itu masih terbawa di tengah zaman serba terbuka dan akses pendidikan yang begitu mudahnya.
Dari gerbong pemikiran ini, penulis mencatat telah terjadi tiga gejala sosial dalam masyarakat kita. Pertama, masyarakat masih banyak yang ‘menilai buku dari sampulnya’. Meski tak seluruhnya salah, namun ‘kegiatan’ ini sebisa mungkin dihindari (setidaknya untuk saat-saat ini), sebab dampaknya destruktifnya bisa luar biasa terutama terhadap agama.
Contoh kecil, premis pertama, ada seorang berjilbab menari-nari seksi di depan kamera. Premis selanjutnya, jilbab selalu diidentikkan dengan islam. Konklusinya, islam yang kena batunya. Jadi, hemat penulis bagi semua warga yang budiman, untuk saat ini tidak perlu memaksakan kehendak bahwa yang berjilbab selalu islami. Anggap sajalah jilbab seperti pakaian-pakaian lain agar nantinya, agama tak dimintai pertanggungjawaban atas ulah negatif oknum jilbaber.
Jika dulu, seperti kisah ibunda penulis tadi, faktor budaya dan identitas ‘ketaqwaan’ masih kuat, yang mana pakaian bisa menjadi simbol keberadaban, beda halnya dengan era milenial ini. Jika tidak percaya, perhatikan koruptor, semua berdasi.
Kedua, berangkat dari gejala pertama yang sulit disembuhkan, kita semua hendaknya arif dan bijaksana, terutama dalam bermedsos. Pose bohay dengan mengenakan jilbab dan pakaian-pakaian yang dinilai lekat dengan simbol keislaman tersebut, baiknya dihindari. Kalau perlu, tidak usah posting yang ‘aneh-aneh’ di sosial media.
Intinya, gejala sosial kedua ini adalah narsisme generasi muda karena telah terjadi semacam cultural shock. Agak miris menyebutnya, tapi agar lebih jelas dan tidak menimbulkan salah faham, penulis hendak mengatakan bahwa warga kita belum siap dengan ‘racun’ sosmed yang begitu bebasnya.
Generasi muda ingin mendapat perhatian lebih dan lebih dari khalayak dengan konten-konten tak senonoh. Sebab diakui atau tidak, konten seksi memang sarana pelambung viewer paling dahsyat. Di sisi lain, mereka masih takut dengan adzab Tuhan, atau setidaknya masih ada kekhawatiran jika orang tua mereka menonton. Akhirnya, diambillah langkah ‘wasathiyah’, yang sebenarnya adalah langkah kebimbangan, biar tampil tak senonoh, yang penting masih pakai jilbab, begitu pembelaan normatif mereka.
Gejala sosial berikutnya yakni tren hijrah yang menurut pantauan penulis justru malah menjadi kejumudan yang nyata. Jika diperhatikan, banyak pengasong hijrah yang hanya mengeksplorasi tampilah luar. tentu ini menjadi syurga bagi pelaku bisnis busana muslimah. Tapi bagi pengamat seperti penulis, fenomena ini adalah satu bahaya laten dalam beragama.
Kaum awam agama, mencoba memperbaiki bangunan akhirat mereka melalui jalur yang mereka sebut hijrah, yaitu dengan mengikuti kajian-kajian serta membeli beberapa stel gamis dan jilbab untuk dikenakan sehari-hari. Sungguh ini bukan perkara yang buruk.Hanya saja, banyak kaum hijrah yang terlalu baper dengan agama lama yang baru ia pelajari, sehingga mereka malah terjebak dalam lubang-lubang kejumudan nalar.
Memang, hijrah pakaian sudah selayaknya diiringi dengan hijrah pemikiran. Dari rasio sempit yang hanya dikendalikan oleh segelintir ustadz, menuju logika yang lebih luwes, yang berdasarkan akal sehat dan open minded. Penulis yakin, jika semua orang awam yang baru belajar islam memiliki pola pemikiran terbuka, maka peristiwa terorisme, saling kafir mengkafirkan, bid’ah membid’ahkan, satu pihak merasa paling benar di atas pihak lain, pasti bisa tereduksi. Sebab, diakui atau tidak, inilah kesalahan yang lazim dilakukan kaum hijrah.
Suatu kesalahan yang dibiasakan, akan dianggap benar secara gradual seiring berjalannya waktu, dan lama kelamaan, kesalahan itu menjadi kebenaran, padahal esensinya tetaplah sebuah kesalahan. Begitu kurang lebih dalil yang pernah dilontarkan oleh Adolf Hitler. Salah memaknai pakaian, bisa salah memaknai agama, bisa salah memaknai Tuhan.
Singkat kata, berpikiran terbuka, tidak mudah menjustifikasi orang dari tampilan, melakukan hal-hal baik semampunya serta tidak lebay dalam beragama dan tidak merasa paling benar sendiri adalah ‘pakaian’ terbaik di era yang 4.0 ini. Wallahu a’lamu bisshowab.
*Penggerak Literasi, Redaktur PC LTN NU Pati, Mudir di Ponpes Shofa Az Zahro’ Gembong-Pati