Kolom
Iqra’, Perintah yang Terlupakan
Kata Iqra’ dalam Al Qur’an memiliki kandungan yang luar biasa, karena ia menjadi kata pertama dari wahyu pertama Surat Al ‘Alaq yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Begitu pentingnya kata Iqra’, sehingga Allah swt mengulang sampai dua kali dalam rangkaian surat Al ‘Alaq.
Rahasia dibalik makna kata Iqra’ telah banyak dikaji dalam berbagai konteks disiplin keilmuan, keimanan, maupun pendidikan. Mengapa Allah swt menurunkan ayat iqra’ (baca) dan qalam (pena/tulisan) dalam satu paket dan kemudian ayat-ayat tersebut diletakkan di paling awal dari wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad Saw.?
Kerangka non-Qur’anic yang melatarbelakangi turunnya Surah Al ‘Alaq secara tradisional seringkali berhubungan dengan kisah dimana pada saat penunjukan awal Muhammad sebagai rasul,
kemudian malaikat Jibril terlihat olehnya seakan memberikannya satu naskah dan memintanya untuk membacanya dengan situasi dan kondisi yang sangat dramatis. Dari kisah ini penafsiran dua imperatif (kata perintah) awal “iqra“, yang diterjemahkan sebagai “baca!“, dalam 96:1-5 ditetapkan.
kemudian malaikat Jibril terlihat olehnya seakan memberikannya satu naskah dan memintanya untuk membacanya dengan situasi dan kondisi yang sangat dramatis. Dari kisah ini penafsiran dua imperatif (kata perintah) awal “iqra“, yang diterjemahkan sebagai “baca!“, dalam 96:1-5 ditetapkan.
Dalam kisah historis turunnya ayat ini,Nabi Muhammad rasul terakhir yang diangkat Allah, tidak saja gemetar ketika Jibril mendekapnya sembari meminta, ”Bacalah!” Suami Khadijah itu juga bingung. Bagaimana tidak, seorang yang ummi atau tak bisa baca tulis, tiba-tiba diminta membaca. Jibril, sang penyampai wahyu itu tetap menyampaikan dengan perintah, ”Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang mencipta segala sesuatu. Iqra bismi rabbikalladzi khalaq.”
Dalam Tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab menunjukkan secara jelas bahwa ayat-ayat Surah Al-`Alaq, terutama lima ayat awalnya, mengandung kata iqra’ dan qalam. Hal ini menunjukkan bahwa Surah Al-`Alaq tidak hanya berkaitan dengan perintah membaca, ada kemungkinan besar kegiatan membaca itu perlu dikaitkan dengan kegiatan menulis. Bahkan, kegiatan menulis itu menjadi sangat penting diperhatikan karena setelah turun kelima ayat dari Surah Al-`Alaq, turunlah kemudian ayat “Nuun demi qalam dan apa yang mereka tulis..” (QS Al-Qalam [68]: 1).
Secara etimologis Iqra’ diambil dari akar kata qara’ayang berarti ‘menghimpun’, sehingga tidak selalu harus diartikan ‘membaca sebuah teks yang tertulis dengan aksara tertentu’. Selain bermakna ‘menghimpun’, kata qara’a juga memiliki sekumpulan makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak. Allah swt. berfirman : (“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”).
Dalam kamus Al Munawir kata Iqradengan berbagai macam bentukannya memiliki makna yang beraneka ragam, antara lain dari akar kata qara’a – qiraatan – qur’anan memiliki makna waqtara’a, tathaqa bil maktuubi fiihi (membaca), atau bermakna thala’a (menelaah, mempelajari), jika dihubungkan dengan kata asysyaia bermakna jama’ahu (mengumpulkan). Sedangkan dari bentukan aqra’a bermakna ja’alahu yaqra’u(membacakan, mengajar, menyuruh membaca).
Kata qara’a di dalam Alqur’an terulang sampai 3 kali, yaitu pada surat Al Isra’ ayat 14 : (“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu Ini sebagai penghisab terhadapmu”). Kemudian dalam surat Al ‘Alaq ayat 1 dan ayat 3 : (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,)
Dalam tafsir Al Maraghi, kata Iqra’ di dalam ayat pertama surat Al ‘Alaq bermakna Shir Qari’an (jadilah pembaca), walaupun sebelumnya bukanlah pembaca, bukan pula penulis, dan telah dating titah Ilahi agar dia menjadi seorang pembaca walaupun bukan penulis; akan dinuzulkan kepadanya (Muhammad saw) sebuah kitab yang akan dibacanya, walaupun tidak ditulisnya sendiri.
Sementara Al Hanafi menafsirkannya dengan If’al ma umirtu bihi minal Qur’ani artinya laksanakanlah apa yang telah Ku-perintahkan kepada kamu di dalam Al qur’an. Menurut Ar Razi bermakna Iqra’ awalan li nafsika, wa tsani litabligh, maksudnya “Bacalah, pertama untuk dirimu sendiri, dan kedua untuk tabligh”. Selanjutnya “Bacalah! pertama untuk ta’allum (belajar) dari Jibril, dan kedua untuk ta’lim (mengajarkan) kepada orang lain.
Terlepas dari perdebatan para mufasir terhadap maksud Allah menurunkan ayat “Iqra'” sebagai wahyu pertama kepada Nabi Muhammad saw, perlu kiranya dilakukan kajian secara khusus konteks histories melalui berbagai pendekatan tafsir Al Qur’an, terutama ayat-ayat yang memiliki Kerangka non-Qur’anic melalui kisah-kisah dramatis.
Tradisi Iqra’, Peletak Dasar Peradaban Manusia
Secara menarik, Prof. Dr. Quraish Shihab juga menunjukkan bahwa akar kata iqra’, yaitu qara’a, itu artinya bukan sekadar membaca. Qara’aberarti meneliti, mendalami, menghimpun, dan menemukan sesuatu yang bermakna. Bahkan kegiatan yang bertumpu pada makna kata qalam-lah yang kemudian dapat mengefektifkan kegiatan yang bertumpu pada makna kata iqra`. walaupun secara eksplisit tidak mengaitkan kata iqra’ dan qalam, namun sebenarnya kedua kata tersebut memiliki keterkaitan yang kuat.
Mari kita baca apa yang disampaikan oleh Quraish Shihab tentang makna kata qalam: Kata qalam di sini dapat berarti hasil dari penggunaan alat tersebut’, yakni tulisan. Ini karena bahasa sering kali menggunakan kata yang berarti ‘alat’ atau penyebab untuk menunjuk ˜akibat’ atau ˜hasil’ dari penyebab atau penggunaan alat tersebut. Misalnya, jika seseorang berkata, ˜saya khawatir hujan’, maka yang dimaksud dengan kata ‘hujan’ adalah basah atau sakit, dan hujan adalah penyebab semata.
Apa yang harus dibaca? Dalam satu riwayat, Nabi saw setelah mengalami kepayahan karena dirangkul dan diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s. beliau lantas bertanya: Ma aqra’ ya jibril? namun pertanyaan tersebut tidak dijawab oleh malaikat Jibril a.s., karena Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa saja, selama membaca tersebut dilandasi bismirabbika(atas nama Allah), dalam arti bermanfaat untuk kemaslahatan sosial.
Pengaitan ini merupakan syarat sehingga menuntut dari si pembaca bukan saja sekedar melakukan bacaan dengan ikhlas, tetapi juga antara lain mampu memilih bahan-bahan bacaan yang tidak menghantarnya kepada hal-hal yang bertentangan dengan ‘nama Allah’ itu.
Jika begitu kata Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri baik yang tertulis maupun tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau.
Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada umat manusia. ‘Membaca’ dalam aneka maknanya adalah syarat pertama dalam pengembangan ilmu dan tekhnologi, serta syarat utama membangun peradaban.
Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab (bacaan). Peradaban Yunani dimulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya Kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831) . Peradaban Islam lahir dengan kehadiran al-Qur’an.
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekedar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-mengulangi bacaan, atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan. Tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulangi bacaan dengan bismirabbika (atas nama Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca hal itu juga. Mengulang-ulang membaca al-Qur’an tentunya akan menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin. Berulang-ulang ‘membaca ‘ alam raya, membuka tabir rahasianyadan memperluas wawasan serta menambah kesejahteraan lahir.
Objek iqra’ yang sedemikian luas itu, memang seolah-olah dapat menyempit apabila hanya dilihat dari rangkainnya perintah membaca dengan qalam. Namun harus diingat bahwa sekian pakar tafsir kontemporer memahami kata qalam sebagai segala macam alat tulis-menulis sampai kepada mesin-mesin tulis dan cetak yang canggih dan juga harus diingat bahwa qalam bukan satu-satunya alat atau cara untuk membaca atau memperoleh pengetahuan.
Dengan kontekstualisasi makna iqra’ di atas, kita dapat memahami bahwa pengetahuan dan peradaban yang dirancang oleh Alqur’an adalah pengetahuan terpadu yang melibatkan akal dan kalbu dalam perolehannya (output). Betapa al-Qur’an sejak dini telah memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal dan budi, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri. Dan al-Qur’an sebagai sebuah kitab terpadu, tentunya menghadapi dan memperlakukan peserta didiknya dengan memperhatikan keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya. (Yusuf Hasyim Addakhil)